ngelimbang hati

Ada sebuah kebiasaan yang dilakukan orang-orang tua Jawa. Setiap malam, menjelang tidur, mereka berdiam di pos ronda, atau di tempat lain, bersama dengan beberapa orang teman mereka, atau mungkin hanya seorang diri. Mereka diam, hanya diam. Membiarkan semua rasa dan pikiran terlintas dalam benak dan hati. Senang dan susah. Sakit dan perih. Sedih dan rindu. Kecewa dan bahagia. Semuanya, apapun itu. Sampai semua itu mengendap dalam benak dan batin mereka. Ketika semua pikiran itu tidak lagi bebas bersliweran dalam benak dan batin mereka, barulah mereka tidur. Tidur dengan nyenyak.
Ngelimbang hati, mungkin itu istilahnya. Mengendapkan semua yang ada mengendap dalam hati dan budi. Ingin rasa tidur nyenyak seperti itu. Setiap malam, saya hampir selalu membiarkan semua rasa perasaan dan berbagai pikiran saya berputar dan menggenang, basah dan keruh, hingga akhirnya saya hampir selalu terbangun setiap pagi dengan rahang yang keras menyatu, saling beradu. Saya kecewa dengan hal-hal yang gagal saya raih, hubungan yang gagal saya pertahankan, mimpi yang gagal saya genggam, dan senyuman yang gagal saya torehkan di wajah orang-orang yang saya cintai. Hampir setiap pagi saya bangun dengan segala kegelisahan saya akan semua kegagalan itu. Namun satu hal yang selalu saya perjuangkan, adalah saya tak boleh menyerah. Kaki saya sudah basah akan jerih dan lelah yang tak pantas untuk saya keringkan begitu saja, tanpa jejak. Bukan untuk diri saya sendiri, melainkan bagi orang-orang yang saya cintai.

Mungkin kebiasaan menulis semacam ini sama dengan ritual ngelimbang hati. Apapun itu, marilah kita tidur dengan nyenyak setiap malam, mengendapkan semua resah-gelisah yang ada di depan mata.
Karena pagi kita terlalu berharga, untuk kita awali dengan geraham yang keras menyatu dan saling beradu.

me.wah

Apa itu mewah? Mewah kata orang identik dengan suatu hal yang mahal, bernilai tinggi. Mobil, misalnya. Semakin bermerek, semakin mahal dan mewah mobil itu di mata orang banyak. Dulu di Yogyakarta mobil tidak begitu banyak, sekarang hampir setiap sore jalanan di sepanjang kota Yogyakarta penuh sesak dengan antrian panjang mobil dengan berbagai merek, mulai dari mobil tahun 80’an sampai mobil keluaran terbaru, dari Kijang kapsul sampai BMW. Semakin mahal tentu semakin mewah, dan semakin mewah tentu semakin nyaman pengendara mobil itu berteduh di bawah atap mobilnya dengan segala lapis interior yang ada di dalamnya. Apapun itu, yang pasti semua interior mahal itu tak akan ada artinya tanpa AC di bawah terik sinar matahari di dalam kemacetan sepanjang jalan Yogyakarta. Pada akhirnya kemewahan mobil BMW hanya terbedakan dari kijang kapsul dengan AC yang lebih dingin dan sejuk.

***

Pertanyaan seputar apa itu mewah terbersit dalam benak saya pagi tadi. Ayah saya pulang dari gereja bersama dengan ibu saya dan cucu mereka (bukan anak saya, saya masih bujang). Sepulang dari gereja, Ayah menyuruh saya untuk pergi berbelanja di pasar. “Beli ceker setengah kilo, sayap satu kilo, sama bumbu dapur. Jangan lupa kecambah. Papa mau masak soto ceker.” Kode ‘Papa mau masak’ sebenarnya sama dengan ‘kamu belanja, pulang, terus masak, nanti Papa yang ngarahin’. Apapun itu, saya pun berangkat ke pasar dan berbelanja; suatu hal yang sungguh saya nikmati hingga saat ini. Sungguh, saya jauh lebih menikmati berbelanja di pasar ketimbang supermarket. Bukan karena harganya yang jauh lebih murah, bukan pula sebagai bentuk kritik terhadap intrik kapitalisme di balik nama-nama besar pasar ritel, melainkan karena dialog yang senantiasa terjalin di dalamnya. Pasar selalu menjadi ruang di mana begitu banyak orang berbagi lebih dari sekedar daging, sayuran, cabai dan daun bawang, melainkan hidup itu sendiri. Setiap kali berbelanja di pasar dekat rumah, saya selalu mengajak ngobrol para pedagang yang saya jumpai, juga penjaga parkir langganan saya, Pak Edi. Selalu ada kisah yang bagikan satu sama lain.

Tadi pagi saya membeli setengah kilo ceker dan satu kilo sayap ayam di kios milik seorang ibu tua. Cekernya putih bersih dan besar-besar.

“Setengah kilo nggih, bu. Kaliyan sayap setunggal kilo.”

“Sepi mas. Mboten kados biasanipun.”

“Inggih Bu, leres. Padahal dinten Minggu, nggih.”[1]

Tak seperti biasanya, pagi ini pasar sepi. Padahal hari ini hari Minggu. Jadi, saya terhitung nglarisi dagangan ibu itu pagi ini. Saya pun meminta ceker yang putih, bersih dan besar-besar. Sembari menunggu ibu itu menimbang ceker dan sayap, saya bertanya di mana beliau tinggal. Ternyata rumahnya tidak jauh dari pasar.

“Kidul lapangan, mas.”[2]

Ceker dan sayap selesai ditimbang, semuanya tiga puluh tujuh rupiah. Ibu itu tersenyum dan berterima kasih kepada saya. Saya pun pergi melengkapi daftar belanja saya yang lain.

Percakapan antara saya dan ibu penjual ayam itu tak akan terjadi di supermarket. Saya tak akan mendapat percakapan dan jawaban yang hangat dengan bahasa Jawa krama bersama penjual daging di supermarket. Percakapan itu hanya bisa saya jumpai di pasar dekat rumah saya, dan di pasar-pasar yang lain di Yogyakarta. Saya menemukan pribadi-pribadi yang saling memanusiakan satu sama lain dengan berbagai percakapan, kisah, maupun aksi tawar-menawar yang mereka lakukan di pasar; tentang sayur, tentang daging, tentang kenalan, sahabat, bahkan keluarga. Dan bagi saya, itu kemewahan yang sungguh luar biasa.

Rasa kagum saya (dan mungkin, sebuah kerinduan) akan arti kemewahan tidak berhenti sampai di situ. Sesampainya di rumah, entah mengapa saya rindu untuk masak bersama dengan Ayah saya. Sejak kehadiran mbak Dar pembantu kami, kami terbiasa untuk memasrahkan semua urusan dapur dan isah-isah (cuci piring) ke mbak Dar. Sayang, sebenarnya. Kehadiran mbak Dar memang sangat membantu ibu yang kewalahan mengurus semua urusan masak-memasak dan cuci-mencuci seorang diri, namun di sisi lain, hal itu menunjukkan rendahnya ketergerakan hati saya sebagai seorang anak yang notabene nganggur semasa liburan dan semestinya bisa membantu ibu saya memasak dan mencuci di rumah. Dua kali (bahkan mungkin lebih) sudah Ibu jatuh di tempat cuci piring, dan itu semakin menguatkan hati Ayah untuk mencari seorang pembantu untuk bekerja di rumah. Saya pun malu pada diri saya sendiri, merasa seolah kehadiran saya digantikan oleh kehadiran seorang pembantu di dapur. Maka pagi ini kerinduan saya pun menyeruak: saya merindukan dapur, lengkap dengan tempat cuci piringnya.

Saya bergerak. Ceker dan sayap segera saya cuci. Entah mengapa, saya begitu menikmati saat-saat di mana saya mencuci setiap potong ceker dan sayap itu. Saya membersihkannya dengan teliti, membersihkan sisa-sisa kulit dan bulu yang masih melekat di ceker dan sayap yang ada. Rasanya lama sekali saya tidak duduk di tempat cuci piring. Dulu, setiap pagi, saya bangun setiap pukul setengah lima pagi, mencuci piring, memasak air, nasi, dan membuat dua gelas teh untuk Ayah dan Ibu dan satu gelas kopi susu untuk keponakan dan kakak saya yang hendak berangkat kerja. Kini rasanya semua itu sudah menjadi masa lalu. Dulu juga, ketika Ayah saya kangen bakmi Jawa, saya pasti disuruh pergi berbelanja dan memasak bersamanya di rumah. Kini semua itu berhenti sampai pada belanjanya saja, dan semua urusan dapur diserahkan kepada mbak Dar.

Saya sama sekali tidak menyalahkan mbak Dar. Dia pun bekerja di sini untuk penghidupan, dan saya pun mengambil sikap hormat atas apa yang dia kerjakaan di rumah (yang sangat membantu Ibu saya). Jujur, saya merindukan saat-saat di mana saya bekerja di dapur bersama Ayah dan Ibu saya, dan entah mengapa, semua itu terasa amat sangat mewah di mata saya saat ini. Saya merindukan saat –saat di mana kedua tangan saya basah dan amis akan daging dan ikan, berbau bawang, dan mata saya yang basah dan pedas karena irisan bawang. Keasyikan saya dengan kamar dan laptop membuat saya sangat merindukan hal-hal itu, entah mengapa. Di sinilah saya melihat kemewahan dari sebuah sudut pandang yang lain: kesempatan. Kesempatan untuk hadir dan bekerja bersama dengan orang-orang yang saya cintai, di tengah berbagai macam tantangan dan godaan yang ada di sekitar saya: facebook, twitter, games, laptop, dsb.

Mewah bukan berarti mahal. Mewah adalah saat-saat di mana suatu hal menjadi begitu berharga, bersama dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kekeluargaan. Kerja keras. Cinta kasih. Humanisme. Hal-hal yang sesungguhnya kita jumpai dalam hidup kita sehari-hari.

Dan betapa mewahnya hidup kita yang hanya satu kali ini, dengan segala nilai yang ada padanya.

***

Mewah itu bukan chatting lewat I-Phone. Mewah itu ngobrol dengan mbok-mbok di pasar.

Mewah itu bukan makan di restoran Perancis. Mewah itu masak dan makan bakmi Jawa bersama Ayah.

Mewah itu, sederhana.

 

Sleman, 10 Agustus 2014

Andreas Rahardjo Adi Baskoro

 

[1] “Setengah kilo ya, bu. Sama Sayap satu kilo.”

“Sepi mas. Nggak kayak biasanya.”

“Iya, bu. Padahal hari Minggu.”

[2] “Selatan lapangan, mas.”

Long Time No Write

Saya masih ingat betul. Dalam sebuah posting yang pernah saya unggah di blog saya, saya menuliskan sebuah statement: melewatkan makna dalam peristiwa adalah sebuah dosa besar. Ekstrim, memang. Kita melihat dosa sebagai sebuah perbuatan yang melukai kepentingan, hati dan perasaan orang lain, serta menjauhkan diri kita dari Yang Maha Kuasa. Lantas apa yang menjadikan lewatnya makna dalam peristiwa sebagai sebuah dosa yang, tanpa mencoba untuk melebih-lebihkan, besar?

Lama sekali saya tidak menulis. Kali ini pun, ketika saya menulis tulisan ini (lebih tepatnya, mengetik), saya memilih untuk meletakkan jari-jari saya di laptop daripada menulis di buku harian saya. Padahal sudah dari kemarin saya meletakkan buku harian saya di atas meja. Setiap malam, mulai pukul 10, saya mengambil buku harian saya; sebuah binder tebal berwarna oranye yang telah menemani saya selama lebih dari dua tahun (dan selama itu pula tidak saya jamah), mengambil pulpen dan meletakkannya berdampingan dengan laptop, hingga akhirnya saya mengurunkan niat saya dan memilih untuk membuka akun twitter dan facebook. Sejumlah pengalaman penting saya lewati beberapa hari terakhir, dan hati nurani saya berbisik berulang kali untuk menuliskannya dalam bentuk refleksi, persis seperti apa yang saya lakukan dua tahun yang lalu setiap malam selama empat tahun berturut turut di buku refleksi. Sayang, saya tidak melakukannya. Pengalaman demi pengalaman daya lewatkan, bersamaan dengan makna yang ada di dalamnya.

Di sinilah dosa itu muncul. Saya melewatkan makna di balik setiap peristiwa. Saya menjumpai makna-makna tersebut di akhir setiap pengalaman yang saya alami, namun saya tidak merekamnya dalam tulisan. Saya mengunyahnya begitu saja tanpa sempat memotretnya terlebih dahulu, dan secara tidak langsung, hal ini melukai diri saya sendiri. Saya melukai hati nurani saya. Hidup, yang notabene merupakan guru yang paling bijaksana, memberikan begitu banyak pelajaran berharga melalui berbagai peristiwa yang saya alami, dan saya melewatkannya begitu saja, tanpa jejak. Apalah artinya saya merasa bahagia dengan apa yang saya dapatkan di akhir setiap pengalaman itu, sepahit apapun pengalaman itu, jika saya melupakannya begitu saja di akhir pengalaman itu? Begitu banyak penulis ternama memulai karyanya dari dirinya sendiri, dari berbagai pengalaman yang mereka alami setiap saat, setiap waktu. Mereka membingkai makna dari setiap peristiwa yang mereka alami, entah dalam bentuk fiksi ataupun refleksi, lalu membagikannya kepada para pembaca. Andrea Hirata, Pandji Pragiwaksono… ah, bahkan saya pun tidak sungguh-sungguh mengingat siapa saja penulis yang menulis berdasarkan pengalaman hidup mereka sendiri. Siapapun mereka, mereka menulis dari apa yang mereka alami, mencerna pengalaman mereka, lalu membagikan makna yang mereka jumpai kepada para pembaca. Intinya: berbagi hidup lewat kisah.

Dan bukankah seharusnya saya bisa melakukan hal yang sama?

Saya tidak mau membiarkan hal ini terus-menerus. Manusia menjadi manusia karena kemampuannya untuk berpikir dan mencerna apa yang dia alami, tidak hanya dengan akal dan rasio, melainkan hati nurani. Makna dalam peristiwa merupakan harta yang sangat berharga yang tidak dapat kita peroleh dari manapun selain dari hidup itu sendiri, dan kita hanya dapat membedahnya dengan akal budi dan hati nurani kita, melalui refleksi.  Sudah sewajibnya saya membingkai setiap pengalaman saya dan membagikannya kepada orang lain. Siapa tahu pengalaman itu menolong hidup mereka menjadi lebih baik.

Don’t let your experiences go away from you.

 

Sleman, 13 Juli 2014

Andreas Rahardjo Adi Baskoro