ngelimbang hati

Ada sebuah kebiasaan yang dilakukan orang-orang tua Jawa. Setiap malam, menjelang tidur, mereka berdiam di pos ronda, atau di tempat lain, bersama dengan beberapa orang teman mereka, atau mungkin hanya seorang diri. Mereka diam, hanya diam. Membiarkan semua rasa dan pikiran terlintas dalam benak dan hati. Senang dan susah. Sakit dan perih. Sedih dan rindu. Kecewa dan bahagia. Semuanya, apapun itu. Sampai semua itu mengendap dalam benak dan batin mereka. Ketika semua pikiran itu tidak lagi bebas bersliweran dalam benak dan batin mereka, barulah mereka tidur. Tidur dengan nyenyak.
Ngelimbang hati, mungkin itu istilahnya. Mengendapkan semua yang ada mengendap dalam hati dan budi. Ingin rasa tidur nyenyak seperti itu. Setiap malam, saya hampir selalu membiarkan semua rasa perasaan dan berbagai pikiran saya berputar dan menggenang, basah dan keruh, hingga akhirnya saya hampir selalu terbangun setiap pagi dengan rahang yang keras menyatu, saling beradu. Saya kecewa dengan hal-hal yang gagal saya raih, hubungan yang gagal saya pertahankan, mimpi yang gagal saya genggam, dan senyuman yang gagal saya torehkan di wajah orang-orang yang saya cintai. Hampir setiap pagi saya bangun dengan segala kegelisahan saya akan semua kegagalan itu. Namun satu hal yang selalu saya perjuangkan, adalah saya tak boleh menyerah. Kaki saya sudah basah akan jerih dan lelah yang tak pantas untuk saya keringkan begitu saja, tanpa jejak. Bukan untuk diri saya sendiri, melainkan bagi orang-orang yang saya cintai.

Mungkin kebiasaan menulis semacam ini sama dengan ritual ngelimbang hati. Apapun itu, marilah kita tidur dengan nyenyak setiap malam, mengendapkan semua resah-gelisah yang ada di depan mata.
Karena pagi kita terlalu berharga, untuk kita awali dengan geraham yang keras menyatu dan saling beradu.