PPRM

PPRM

Kemarin sore saya potong rambut. Beberapa jam sebelum perayaan ekaristi malam Paskah, saya menyempatkan diri untuk pergi ke tukang potong rambut langganan tak jauh dari rumah. Saya pamit pada Bapak, minta izin untuk potong rambut dengan maksud untuk merapikan diri. Dua puluh ribu di tangan, motorpun saya pacu.

Saya mampir ke tukang potong rambut langganan saya dan Bapak. Tepat dugaan saya, tutup. Sama seperti kami, dia pun Katolik, umat paroki Somohitan. Dengan rasa kecewa saya pun meneruskan perjalanan saya ke tukang cukur Madura, tidak jauh dari situ.

Dua orang tengah mengantri. Saya duduk di luar menghadap ke jalan sembari menunggu antrian. Lima menit berselang, salah seorang lelaki yang mengantri di dalam ke luar dan pergi. Saya pun masuk dan duduk menggantikannya. Lumayan, batin saya. Sembari menunggu antrian saya mengamati dua orang tukang cukur yang sedang bekerja: seorang pemuda paruh baya dan seorang lelaki remaja. Saya hapal dengan pemuda paruh baya yang bekerja di sana, jadi saya berencana untuk duduk di kursinya; sayang, niat saya diambil lebih dulu oleh bapak-bapak yang mengantri di sebelah saya. Rupanya kami memiliki pikiran yang sama: rasa yakin pada si pemuda paruh baya dan rasa ragu pada si lelaki remaja. Baru mau berdiri, bapak-bapak di sebelah saya sudah mengambil ancang-ancang. Apa boleh buat, saya duduk di kursi tukang cukur yang lebih muda. Saya menenangkan diri sembari membaca tulisan di atas cermin: PPRM, Paguyuban Potong Rambut Madura. Setidaknya anak ini anggota PPRM, batin saya.

“Mau cukur gimana, bro?” tanyanya.

“Dirapikan saja. Pendek, rapi.”

“Tipis, bro? Sedang?”

Duhdek! Rapikan saja, tidak usah neko-neko. Tukang potong rambut langganan saya dan Bapak tidak banyak tanya; sekali perintah, langsung eksekusi. Potongannya pun apik dan sesuai dengan garis wajah. Anak ini, sudah banyak tanya, pakai bra-bro segala.

“Pendek. Rapi.”

Dia pun mengangguk. Segera diambilnya mesin pemotong rambut, dinyalakannya, lalu tanpa tedeng aling-aling rambut saya dipapras, kanan dan kiri. Tipis. Saya hanya terdiam sembari mengikuti gerak tangannya, hingga tangannya menyambar telinga kanan saya.

“Duh, sori bro..”

Untung tangan, bukan gunting.

“Gapapa, santai aja..”

Saya hanya menjawabnya sembari tersenyum kecil. Terkadang dia berhenti dan bertanya apakah potongannya terlalu panjang, terlalu pendek, disasak apa tidak, atau kalau masih ada yang kurang. Saya member komentar sekenanya, sambil menunggu hasil akhir. Akhirnya pekerjaannya pun selesai dengan hasil yang cukup memuaskan.

Saya pun tersenyum. Dua puluh ribu saya berikan.

“Sudah berapa tahun jadi tukang cukur?” tanya saya.

“Sudah lama, mas..,” jawabnya sembari tersenyum. Diberikannya kembalian dua belas ribu, dan saya pun pergi setelah sejenak merapikan kembali rambut saya yang baru saja selesai dipermak. Saya pun pulang dengan rambut yang baru, ala PPRM.

***

Saya suka potong rapi. Beberapa waktu belakangan saya memutuskan untuk memilih satu model rambut tetap: rapi dengan belahan di pinggir. Simpel, rapi dan elegan. Dulu semasa SMP dan SMA (bahkan SD) saya selalu pusing memikirkan model rambut. Saya bahkan anti potong rambut, apalagi tukang cukur Madura. Mau dibawa ke mana rambut saya di tangan mereka? Namun lambat laun saya pun menyadari, bukan waktunya lagi bagi saya untuk memusingkan model rambut. Umur saya semakin bertambah, dan seiring dengan berjalannya waktu saya merasa terlalu tua dengan model rambut masa kini: harajuku, old school, shaggy, dsb. Saya bahkan merasa asing dengan barang-barang sebangsa pomade, sneakers, kemeja flannel, dsb. Butuh waktu belasan tahun bagi saya untuk sepenuhnya mempasrahkan rambut saya ke tangan tukang cukur Madura, tanpa pusing memikirkan komentar dari teman-teman saya setelahnya.

Belasan tahun. Bayangkan, untuk bisa mempasrahkan seporsi kecil bagian tubuh saya kepada orang lain saja butuh waktu belasan tahun. Apalagi Gusti Pangeran. Tak terhitung waktu ditempuh Sampeyan Dalem untuk sepenuhnya merelakan tubuh sang Putra untuk disalibkan oleh tangan orang-orang berdosa. Bayangkan seberapa besar rasa takut dan ragu yang dihadapi oleh Beliau. Namun Gusti Pangeran memilih untuk merelakan tak hanya tubuh-Nya, melainkan pula nyawa-Nya, untuk orang-orang yang Dia cintai. Kita semua.

Hasilnya? Penebusan dosa kita yang Dia cintai.

Saya belajar betapa pentingnya nilai sumarah. Pasrah sumarah, tak hanya setengah-setengah. Pasrah yang nrima, tanpa banyak tanya. Dan hal ini persis merupakan hal tersulit dalam hidup manusia: nrima. Entah mengapa kita terlahir dengan insting dasar penolakan; kita cenderung resisten dengan hal-hal yang ada di sekitar kita, apapun itu. Bahkan ekspresi terkejut ketika menerima kado ulang tahun – hal sesederhana itu – pun termasuk dalam bentuk resistensi dasar kita terhadap kenyataan.  Kita selalu bergulat untuk menerima kenyataan, padahal itulah kunci dasar kebahagiaan: nrima. Sama seperti Gusti Pangeran yang rela nrima margining urip (jalan hidup) yang ada pada-Nya.

Sejenak saya berkaca pada cermin sebelum berangkat ke kapel. Hasil potongan anak itu tidak terlalu rapi. Saya merapikannya dengan sisir dan jell sembari berpikir, toh rambut saya akan kembali lagi seperti biasa dan pulih kembali seperti sedia kala. Gusti Pangeran saja bangkit, apalagi rambut saya.

 

 

Sleman, 5 April 2015

Andreas Rahardjo Adi Baskoro