me.wah

Apa itu mewah? Mewah kata orang identik dengan suatu hal yang mahal, bernilai tinggi. Mobil, misalnya. Semakin bermerek, semakin mahal dan mewah mobil itu di mata orang banyak. Dulu di Yogyakarta mobil tidak begitu banyak, sekarang hampir setiap sore jalanan di sepanjang kota Yogyakarta penuh sesak dengan antrian panjang mobil dengan berbagai merek, mulai dari mobil tahun 80’an sampai mobil keluaran terbaru, dari Kijang kapsul sampai BMW. Semakin mahal tentu semakin mewah, dan semakin mewah tentu semakin nyaman pengendara mobil itu berteduh di bawah atap mobilnya dengan segala lapis interior yang ada di dalamnya. Apapun itu, yang pasti semua interior mahal itu tak akan ada artinya tanpa AC di bawah terik sinar matahari di dalam kemacetan sepanjang jalan Yogyakarta. Pada akhirnya kemewahan mobil BMW hanya terbedakan dari kijang kapsul dengan AC yang lebih dingin dan sejuk.

***

Pertanyaan seputar apa itu mewah terbersit dalam benak saya pagi tadi. Ayah saya pulang dari gereja bersama dengan ibu saya dan cucu mereka (bukan anak saya, saya masih bujang). Sepulang dari gereja, Ayah menyuruh saya untuk pergi berbelanja di pasar. “Beli ceker setengah kilo, sayap satu kilo, sama bumbu dapur. Jangan lupa kecambah. Papa mau masak soto ceker.” Kode ‘Papa mau masak’ sebenarnya sama dengan ‘kamu belanja, pulang, terus masak, nanti Papa yang ngarahin’. Apapun itu, saya pun berangkat ke pasar dan berbelanja; suatu hal yang sungguh saya nikmati hingga saat ini. Sungguh, saya jauh lebih menikmati berbelanja di pasar ketimbang supermarket. Bukan karena harganya yang jauh lebih murah, bukan pula sebagai bentuk kritik terhadap intrik kapitalisme di balik nama-nama besar pasar ritel, melainkan karena dialog yang senantiasa terjalin di dalamnya. Pasar selalu menjadi ruang di mana begitu banyak orang berbagi lebih dari sekedar daging, sayuran, cabai dan daun bawang, melainkan hidup itu sendiri. Setiap kali berbelanja di pasar dekat rumah, saya selalu mengajak ngobrol para pedagang yang saya jumpai, juga penjaga parkir langganan saya, Pak Edi. Selalu ada kisah yang bagikan satu sama lain.

Tadi pagi saya membeli setengah kilo ceker dan satu kilo sayap ayam di kios milik seorang ibu tua. Cekernya putih bersih dan besar-besar.

“Setengah kilo nggih, bu. Kaliyan sayap setunggal kilo.”

“Sepi mas. Mboten kados biasanipun.”

“Inggih Bu, leres. Padahal dinten Minggu, nggih.”[1]

Tak seperti biasanya, pagi ini pasar sepi. Padahal hari ini hari Minggu. Jadi, saya terhitung nglarisi dagangan ibu itu pagi ini. Saya pun meminta ceker yang putih, bersih dan besar-besar. Sembari menunggu ibu itu menimbang ceker dan sayap, saya bertanya di mana beliau tinggal. Ternyata rumahnya tidak jauh dari pasar.

“Kidul lapangan, mas.”[2]

Ceker dan sayap selesai ditimbang, semuanya tiga puluh tujuh rupiah. Ibu itu tersenyum dan berterima kasih kepada saya. Saya pun pergi melengkapi daftar belanja saya yang lain.

Percakapan antara saya dan ibu penjual ayam itu tak akan terjadi di supermarket. Saya tak akan mendapat percakapan dan jawaban yang hangat dengan bahasa Jawa krama bersama penjual daging di supermarket. Percakapan itu hanya bisa saya jumpai di pasar dekat rumah saya, dan di pasar-pasar yang lain di Yogyakarta. Saya menemukan pribadi-pribadi yang saling memanusiakan satu sama lain dengan berbagai percakapan, kisah, maupun aksi tawar-menawar yang mereka lakukan di pasar; tentang sayur, tentang daging, tentang kenalan, sahabat, bahkan keluarga. Dan bagi saya, itu kemewahan yang sungguh luar biasa.

Rasa kagum saya (dan mungkin, sebuah kerinduan) akan arti kemewahan tidak berhenti sampai di situ. Sesampainya di rumah, entah mengapa saya rindu untuk masak bersama dengan Ayah saya. Sejak kehadiran mbak Dar pembantu kami, kami terbiasa untuk memasrahkan semua urusan dapur dan isah-isah (cuci piring) ke mbak Dar. Sayang, sebenarnya. Kehadiran mbak Dar memang sangat membantu ibu yang kewalahan mengurus semua urusan masak-memasak dan cuci-mencuci seorang diri, namun di sisi lain, hal itu menunjukkan rendahnya ketergerakan hati saya sebagai seorang anak yang notabene nganggur semasa liburan dan semestinya bisa membantu ibu saya memasak dan mencuci di rumah. Dua kali (bahkan mungkin lebih) sudah Ibu jatuh di tempat cuci piring, dan itu semakin menguatkan hati Ayah untuk mencari seorang pembantu untuk bekerja di rumah. Saya pun malu pada diri saya sendiri, merasa seolah kehadiran saya digantikan oleh kehadiran seorang pembantu di dapur. Maka pagi ini kerinduan saya pun menyeruak: saya merindukan dapur, lengkap dengan tempat cuci piringnya.

Saya bergerak. Ceker dan sayap segera saya cuci. Entah mengapa, saya begitu menikmati saat-saat di mana saya mencuci setiap potong ceker dan sayap itu. Saya membersihkannya dengan teliti, membersihkan sisa-sisa kulit dan bulu yang masih melekat di ceker dan sayap yang ada. Rasanya lama sekali saya tidak duduk di tempat cuci piring. Dulu, setiap pagi, saya bangun setiap pukul setengah lima pagi, mencuci piring, memasak air, nasi, dan membuat dua gelas teh untuk Ayah dan Ibu dan satu gelas kopi susu untuk keponakan dan kakak saya yang hendak berangkat kerja. Kini rasanya semua itu sudah menjadi masa lalu. Dulu juga, ketika Ayah saya kangen bakmi Jawa, saya pasti disuruh pergi berbelanja dan memasak bersamanya di rumah. Kini semua itu berhenti sampai pada belanjanya saja, dan semua urusan dapur diserahkan kepada mbak Dar.

Saya sama sekali tidak menyalahkan mbak Dar. Dia pun bekerja di sini untuk penghidupan, dan saya pun mengambil sikap hormat atas apa yang dia kerjakaan di rumah (yang sangat membantu Ibu saya). Jujur, saya merindukan saat-saat di mana saya bekerja di dapur bersama Ayah dan Ibu saya, dan entah mengapa, semua itu terasa amat sangat mewah di mata saya saat ini. Saya merindukan saat –saat di mana kedua tangan saya basah dan amis akan daging dan ikan, berbau bawang, dan mata saya yang basah dan pedas karena irisan bawang. Keasyikan saya dengan kamar dan laptop membuat saya sangat merindukan hal-hal itu, entah mengapa. Di sinilah saya melihat kemewahan dari sebuah sudut pandang yang lain: kesempatan. Kesempatan untuk hadir dan bekerja bersama dengan orang-orang yang saya cintai, di tengah berbagai macam tantangan dan godaan yang ada di sekitar saya: facebook, twitter, games, laptop, dsb.

Mewah bukan berarti mahal. Mewah adalah saat-saat di mana suatu hal menjadi begitu berharga, bersama dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kekeluargaan. Kerja keras. Cinta kasih. Humanisme. Hal-hal yang sesungguhnya kita jumpai dalam hidup kita sehari-hari.

Dan betapa mewahnya hidup kita yang hanya satu kali ini, dengan segala nilai yang ada padanya.

***

Mewah itu bukan chatting lewat I-Phone. Mewah itu ngobrol dengan mbok-mbok di pasar.

Mewah itu bukan makan di restoran Perancis. Mewah itu masak dan makan bakmi Jawa bersama Ayah.

Mewah itu, sederhana.

 

Sleman, 10 Agustus 2014

Andreas Rahardjo Adi Baskoro

 

[1] “Setengah kilo ya, bu. Sama Sayap satu kilo.”

“Sepi mas. Nggak kayak biasanya.”

“Iya, bu. Padahal hari Minggu.”

[2] “Selatan lapangan, mas.”