Jenazah

 

Kata orang, itu bukan jenazah. Itu hanya seonggok daging cincang yang terjatuh dari mobil pengangkut daging sapi, terlindas sedan, truk, tronton, dan puluhan makhluk beroda lainnya. Daging itu pun semakin tak berbentuk, terdukung kodratnya sebagai seonggok daging cincang. Dan bukankah daging cincang memang tak berbentuk?

Tapi Mariyem berkata tidak. Ada yang berbeda dari seonggok daging itu. Ada nyawa yang baru saja lepas darinya. Nyawa yang terjalin dalam hubungan batin dengannya. Nyawa yang lahir dari rahimnya.

Mariyem menangis. Melolong dan meringis. Meratapi seonggok daging berdarah di tepi jalan. Orang-orang berlalu-lalang, pergi kesana-kemari.

Mariyem tetap sendiri.

***

“Pisau.”

“Baik, dok.”

“Gunting.”

“Ini, dok.”

“Tang.”

“He?”

Asisten residen terdiam. Tang?

“Tidak ada tang, dok.”

“Ya cari.”

“Tapi..”

“Cari!”

Asisten residen bergegas dari ruang otopsi, pergi menuju bilik ­out sourcing dan bertanya, “Ada tang?” Spontan sejumlah petugas kaget melihatnya.

“Maaf dok, tidak ada tang di sini.”

Asisten residen kembali bergegas. Melaju ke lift, turun dua lantai menuju basement. Menemui petugas satpam, tukang parkir, bahkan cleaning service. Nihil. Tak ada tang di sana. Dia pun pergi, kembali ke ruang otopsi. Kuyu wajahnya mengkerut melihat sang dokter menusuknya dengan tatapan tajam menghakimi.

“Mana tangnya?”

“Tidak ada, dok. Tidak ketemu.”

“Ke mana saja kamu?”

“Keliling rumah sakit, dok. Nihil.”

Si dokter terdiam. Si asisten pun membisu. Si dokter masih sibuk menusuknya dengan tikam-tikam tatapan yang dingin. Lalu perlahan si dokter mengalihkan pandangannya pada gumpalan daging berdarah itu. Matanya menghangat. Dia menghela nafas panjang.

“Aneh.”

“Kenapa, dok?”

“Ada paku di sana.”

“Di mana?”

“Di mana lagi? Ya di daging itu.”

Residen terdiam. Ditatatapnya gumpalan daging itu, daging yang datang sore tadi menjelang maghrib. Seorang perempuan paruh baya datang membawanya dengan tangan bersimbah darah, tertatih-tatih seorang diri menuju UGD. “Tolong! Tolong anak saya!” ujarnya. Seorang perawat datang menghampirinya, bertanya apa yang bisa dia bantu. Perempuan itu memintanya untuk merawat gumpalan daging yang dibawanya sore itu sembari berkata, “Tolong, suster. Dia anakku.”

“Tapi itu daging, bu. Daging cincang.”

“Dia anakku! Rawatlah dia. Dia butuh pertolonganmu. Tolong…”

Melihat keseriusan ibu itu, sang perawat menarik brankar besi di dekatnya, membungkus kedua tangannya dengan pelapis steril, lalu mengambil gumpalan daging itu dan membawanya di atas brankar. Dia sebenarnya tidak yakin akan apa yang sedang dilakukannya. Merawat daging cincang? Yang benar saja? Namun entah mengapa sorot mata perempuan itu menyentuhnya. Menggerakkan hatinya untuk segera mengambil alih segumpal daging cincang seberat tujuh kilogram dari peluk sang ibu.

“Sebentar ya, bu. Kami bawa anak ibu ke ruang otopsi.”

“Otopsi?”

“Tenang, bu. Kami tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh. Hanya membersihkannya, lalu mendandaninya. Seperti sedia kala.”

Perempuan itu membisu. Melangkah sayu ke bangku pasien ditemani seorang perawat lain yang diberi pesan, “Temani dia. Sebentar lagi petugas RSJ datang menjemputnya.” Perawat wanita itu mendorong brankar dengan perlahan, mengamati gumpalan daging cincang nan basah berlumur darah di atas brankar. Aneh, batinnya. Sepertinya daging itu berdenyut. Ah, masa bodoh. Bawa ke ruang otopsi, serahkan residen, selesai.

Daging itu pun tiba di ruang otopsi. Residen jaga datang menghampiri perawat itu.

“Ini, terserah mau diapakan.”

“Ini apa?”

“Daging.”

“Ya, saya juga tahu ini daging. Daging apa?”

“Entahlah. Tugasmu mencari tahu.”

Maka begitulah. Singkat kata, daging itu mendekam di pendingin jenazah, menanti selama berjam-jam antrian (cukup banyak jenazah yang harus diotopsi sore itu; korban pembunuhan, mutilasi, kecelakaan, dsb. Musim jenazah, rupanya), sampai tak ada lagi jenazah yang mengantri otopsi kecuali segumpal daging seberat tujuh kilogram itu. Awalnya si dokter pun enggan menjamahnya, lelah mengotopsi sepuluh jenazah dalam satu malam. Namun ada yang lain dari daging itu, suatu hal yang menariknya untuk menarik daging itu dari lemari pendingin, menghangatkannya, membasuhnya, lalu memeriksanya, inci demi inci. Entah apa yang menariknya, seolah daging itu berbisik padanya, “Jamah aku. Jamahlah.”

“Ada tiga paku di sana. Menancap kuat, tepat di dalam.”

“Di dalam? Bagaimana bisa?”

“Entahlah. Mungkin dia mati tertusuk paku.”

“Jadi ini positif…”

“Positif apa?”

“…daging, manusia?”

“Mungkin.”

“Bagaimana dokter tahu?”

“Firasatku berkata demikian. Puluhan tahun aku menjamah daging-daging manusia tak bernyawa. Daging kita berbeda dengan daging sapi potong. Kau akan bisa merasakannya kelak setelah puluhan tahun menjadi seorang petugas otopsi.”

“Apa bedanya, dok? Toh semua daging-daging itu berwarna merah kehitaman.”

“Sembarangan! Tentu saja tidak. Ada yang khas dari daging kita, bahkan setelah kita mati.”

Residen itu terdiam. Hening semakin panjang membungkus malam, dan dia semakin bingung dengan apa yang dokter itu katakan. Si dokter, sementara itu, masih menatap gumpalan daging itu dengan mata menerawang jauh ke depan. Lirih, dia berkata,

“Ada roh yang lepas darinya. Itu bedanya.”

***

Jadi, si dokter dan asistennya asyik menghabiskan waktu bersama sekerat daging cincang tak berbentuk selama berjam-jam, hanya untuk berbincang soal daging, manusia, dan roh. Residen itu memang tertarik dengan ilmu otopsi, namun malam itu dia lebih tertarik dengan dongeng si dokter tentang asal-usul roh dan daging manusia. Sembari membersihkan daging itu dengan perlahan, si dokter menceritakan padanya kisah turun-temurun yang diperolehnya dari nenek-moyangnya.

“Kamu tahu kisah Adam dan Hawa?”

“Tahu.”

“Nah, mereka berdua awalnya sama dengan makhluk-mahluk yang lain. Dibentuk dari tanah dan debu. Yah, diberi air sedikitlah, supaya liat dan mudah dibentuk. Rupanya Tuhan suka bermain lempung.

“Suatu ketika, Tuhan bosan dengan ciptaan-Nya. Tak satu pun ciptaan itu bisa diajak ngobrol. Mereka bodoh, hanya bisa makan, tidur, kawin dan beranak. Hingga suatu ketika muncullah di benak-Nya sebuah gagasan: bagaimana kalau Aku menciptakan saja citra diri-Ku? Maka Tuhan pun mengambil segumpal lempung, bercermin, lalu membentuknya persis seperti diri-Nya sendiri. Nah, ini yang penting: Dia menghembuskan nafas-Nya pada replika diri-Nya itu. Nafas itulah yang membuat segumpal lempung itu hidup, namun tak hanya hidup. Dia hidup dengan akal dan hati. Itulah roh, nafas Tuhan yang mengalir dalam nadi manusia.”

“Jadi, maksudmu nafas Tuhan baru saja lepas dari daging itu?”

“Ya, kurasa begitu.”

Si dokter masih berasyik-masyuk dengan daging itu. Sang asisten, sementara itu, hanya mengamatinya mengutak-atik daging itu dari berbagai sisi. Dia mengernyit.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Tahu apa?”

“Kalau nafas Tuhan baru saja lepas darinya?”

Si dokter menghentikan pekerjaannya. Keasyikannya terputus. Dia meletakkan  peralatannya, membasuh tangannya, menarik dua kursi, duduk, lalu berkata, “Duduklah. Mari berbincang.”

“Tidakkah kamu mengerti? Aku sudah memberitahumu tadi. Daging kita berbeda dengan daging sapi potong. Kamu akan mengerti…”

“…kelak setelah puluhan tahun menjadi seorang petugas otopsi. Ya, aku tahu. Tapi bagaimana kamu tahu? Bagaimana kamu bisa tahu kalau ada sesosok roh yang baru saja lepas dari segumpal daging itu? Apakah roh itu seperti jin, halus, tembus pandang, dan menguap dari daging itu layaknya asap? Apa yang kamu lakukan hingga kamu bisa mengetahuinya?”

“Nak, kamu masih muda. Masih terlalu dini bagimu untuk mengetahui semua itu.”

“Apa salahnya? Apa semua itu berhubungan dengan ilmu hitam? Guna-guna? Mata batin?”

“Dengar Nak. Daging itu…”

Si dokter menghela nafas panjang. Matanya menghangat. Residen itu masih muda, seusia anaknya. Anaknya yang mati terlindas truk, ngeyel diberitahu untuk tidak seenaknya memacu deru kuda besinya. Dia sendiri yang mengotopsi mayat anaknya. Wajahnya menyerpih, tak tersisa. Kamu seperti anakku, batinnya. Susah dikasih-tahu.

“Daging itu berdenyut.”

“Apa?”

“Berdenyut.”

“Jangan bercanda.”

“Kamu hanya melihatnya, namun tidak merasakannya. Rasakan, tajamkan matamu. Lihat sendiri kalau tidak percaya.”

Residen itu berdiri. Menghampiri gumpalan daging yang kini sudah bersih, jauh lebih bersih. Mengamatinya inci demi inci. Aneh memang. Tiga paku menancap tepat di tiga sisi, membentuk tiga sudut segitiga. Dan tepat di tengahnya, ada sesuatu yang membuatnya terhenyak. Daging itu berdenyut, tepat di tengah. Begitu pelan.

“Ini bohong, kan?”

“Kamu boleh tidak percaya, tapi itu kenyataannya.”

“Tapi ini daging orang mati!”

“Daging orang mati tidak sepenuhnya mati. Kita benar-benar mati ketika otak kita berhenti bekerja. Jaringan-jaringan yang ada masih bekerja, begitu pelan, hingga darah kita mengental dan menggumpal. Daging ini, anehnya, tidak demikian. Tak ada gumpalan darah di sana. Darahnya encer layaknya manusia yang masih hidup. Mengalir dari tiga tempat di mana paku-paku itu tertancap.”

Residen itu terhenyak. Dia merinding. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin.

“Jadi benar, nafas Tuhan baru saja lepas darinya?”

“Sebenarnya tidak. Aku mulai ragu sekarang. Harusnya denyut itu sudah hilang berjam-jam yang lalu, beberapa waktu setelah seseorang meninggal. Tapi daging itu tetap berdenyut. Sepertinya daging itu hidup.”

Residen membisu. Melangkah perlahan ke kursi dengan setumpuk pertanyaan di benaknya. Daging. Roh. Nafas Tuhan. Manusia. Adam dan Hawa. Dia masih belum mengerti, bahkan mungkin sudah tidak berminat untuk mengerti. Membiarkan dirinya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang tak terjawab dalam benaknya.

“Sudahlah, Nak. Tidak usah dipikirkan. Aku sudah berkata padamu, kamu masih terlalu muda. Cukuplah kita mengotopsi daging ini. Kita taruh dia di ruang jenazah.”

“Buat apa kita menaruh segumpal daging cincang di ruang jenazah? Nanti kita disangka orang bodoh, dok.”

“Daging ini datang dari seorang perempuan yang mengaku dirinya sang ibu dari daging ini. Sudah jadi etika kita untuk menghormati keluarga pasien.”

Si dokter menghentikan percakapannya. Dia membersihkan darah yang mengalir darinya, menaruhnya di sebuah kotak steril, lalu membawanya ke ruang jenazah. Si residen menemaninya dalam diam.

Malam telah berganti pagi.

***

Waktu berlalu. Tiga hari sudah daging itu mendekam di ruang jenazah. Perempuan yang dulu datang bersamanya memaksa untuk datang menjenguknya. “Aku Mariyem, dan aku ibunya!” desaknya. Merasa iba, petugas RSJ pun mengizinkannya. Dia pergi ke rumah sakit itu bersama tiga orang penjaga yang diberi pesan, “Antar dia subuh-subuh, biar tidak mengganggu pasien yang lain.”

Fajar menyingsing. Ruang jenazah begitu sepi. Jenazah-jenazah lain telah dibawa oleh keluarganya masing-masing di hari yang lalu. Mariyem bergegas, menarik langkahnya menuju ruang di mana anaknya berada.

“Di mana dia? Di mana?”

“Di sana, bu. Dalam kotak di sudut ruangan.”

Mariyem berlari. Para petugas pergi mengiringi. Sesampainya mereka di ruangan itu, mereka dikejutkan oleh sebuah pemandangan.

Kotak itu kosong. Daging itu tak ada di sana. Jejak darah membekas di lantai, jejak setapak yang terbentuk tepat di muka kotak, begitu lurus, sampai berhenti di muka tembok tepat di hadapannya. Di sana tergantung sebuah kayu salib.

Darah menetes darinya.

“Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu.”

(Luk. 22:19)

Sleman, 7 Januari 2013

Andreas Rahardjo Adi Baskoro