Taman Kunang-Kunang

Ibu. Mengapa ibu menangis? Tidak nak. Ibu tidak menangis. Ibu bohong. Ibu pasti menangis. Tidakkah kau tahu? Kita sedang kehujanan. Tidak. Kamu mengisak. Kausamarkan tangismu dalam untaian tangis sang hujan. Air mata itu berbeda dari tetes air hujan yang mengalir di pipimu. Putik tetesannya bergulir pelan dari ujung pelupuk matamu. Butir-butir itu menangis, lirih. Aku mendengar isaknya.

Hujan, bu. Iya, nak. Dingin, bu. Bersabarlah, nak. Kenapa kita tidak masuk saja? Perapian menunggu kita. Kamu diam. Hanya diam. Memar melebam di mata kananmu. Aku benci dia yang melukisnya. Dia yang mengusir kita, bu. Dia yang mengusir kita.

Sudah malam, bu. Kenapa kita di luar? Kamu tidak menjawab. Hanya mengisak. Kaudekap aku dalam peluk isakmu. Aku meluruh.

Dingin semakin menjadi. Gelap semakin memekat.

Tidak, Kenanga. Tidak. Ibu tidak menangis.

Tidak malam ini.

***

Hihi. Itu apa, bu? Kunang-kunang. Kunang-kunang? Ya, kunang-kunang. Banyak sekali! Tentu. Ini kan taman. Taman? Iya, taman. Taman kunang-kunang.

Kenapa mereka begitu banyak, bu? Karena mereka hidup bersama. Bersama? Ya. Apa mereka hidup berkeluarga? Ya. Mereka semua? Ya. Kalau begitu, mereka berkerabat? Tentu. Berarti, eh, berarti, ada anak kunang-kunang? Ada. Paman kunang-kunang? Ada. Kakek kunang-kunang? Ada. Ibu kunang-kunang? Tentu ada. Kalau ayah kunang-kunang? Ehm… ya. Ada.

***

Hujan mereda. Gerimis merenda. Sementara kita berteduh di bawah naungan pohon sawo, pintu itu tak kunjung terbuka. Tidak bagi kita.

Malam begitu beku. Kita meringkuk. Kamu menggigil. Menggigil dalam pelukku.

Memarku berdenyut. Keningku mengilu.

Maafkan aku, anakku.

Malam ini tak ada susu untukmu.

***

Kenanga. Ya, bu? Pernahkah ibu menceritakanmu sebuah dongeng tentang kunang-kunang? Belum. Ada sebuah keluarga kunang-kunang. Mereka hidup bertiga, ayah kunang, ibu kunang, dan adik kunang. Bersama mereka menerangi malam dengan kelip mereka yang tidak seberapa, namun cantik adanya.

Sayang, nasib malang menimpa mereka. Pada suatu malam, ayah kunang tertangkap jerat sang laba. Ibu kunang dan adik kunang ingin menolongnya, namun apa daya, sang laba terlampau gagah bagi mereka. Sang laba membebat tubuh ayah kunang, dan perlahan dia mengisapnya, begitu pelan. Kelip ayah kunang pun meredup, hingga ajal menjemputnya.

***

Malam ini, aku bermimpi.

Mimpi yang aneh. Ayah pergi bersama kita, bersama-sama ke taman kunang-kunang. Kita bermalam di sana, berteduhkan sehelai tenda. Tak ada api unggun. Hanya kita, dan kunang-kunang.

Malam itu kita tertawa bersama. Lalu, saat aku tertidur, kalian bercumbu. Membelit layaknya ular saling melilit. Begitu mesra. Sampai seekor anjing datang melesak.

Aku takut. Kalian tergagap. Anjing hutan itu begitu besar, lebih dari singa. Kemudian, dengan begitu singkat, anjing itu mengoyak kepala Ayah. Mengunyahnya.

Engkau menangis. Meringkuk dan meringis. Lalu anjing itu menghampirimu. Berliur darah Ayah, dia menggagahimu. Tanpa ampun. Dan engkau menangis. Menangis dalam lelahmu.

Jerit bisu menganga dari mulutku.

Aku terbangun.

Terbangun dalam pelukmu.

Malam tak kunjung tidur.

***

Ibu dan adik kunang hidup terlunta-lunta. Tiada lagi kelip hangat sang ayah. Hingga suatu ketika, ibu kunang menjumpai sesosok kunang yang begitu menawan. Tubuhnya menyala begitu terang, lebih dari segenap kunang yang pernah dia jumpai. Ibu kunang jatuh cinta. Adik kunang pun rindu akan hangat seorang ayah. Maka ibu kunang pun mendekatinya.

Namun sayang, ibu kunang salah memilih. Kunang yang dicintainya bukanlah kunang yang sesungguhnya. Dia hanyalah sepuntung rokok yang nyalanya tak kunjung padam. Nyalanya begitu panas, sangat panas. Dia tersiksa, namun cinta mengalahkan perih lepuhnya. Aku ingin memelukmu, ucapnya. Ia pun mati, hangus dalam pelukan sang kunang palsu.

Kemudian kamu terdiam. Diam dalam heningmu. Entah mengapa kauhentikan dongengmu. Sebutir air pun menguncup di sudut kerlingmu.

***

Dingin, bu. Iya, nak. Ayo masuk, bu. Kau pun diam.

Ayo ke taman, bu. Taman? Taman Kunang-Kunang. Terlalu larut, nak. Di sini dingin, bu. Dan lagi, kau terdiam.

Aku menggigil. Dingin ini menusukku. Mengulitiku. Kubenamkan diriku dalam pelukmu. Menelusur belah dadamu. Mencari seusap hangat di celah itu.

Kutatap matamu dari balik dadamu. Ada yang membengkak di sana. Sudut matamu memerah. Pekat.

Lalu, perlahan kaulepaskan pelukmu. Engkau berdiri, melucuti dirimu sendiri. Sweater. Syal. Piyama. Hingga tak sehelai benang pun melekat di tubuhmu. Pelan, kau menyelimutiku dengan pakaianmu. Dan engkau pun memelukku, lagi.

***

Ada apa, bu? Kau terkesiap. Kausapu kuncup air yang tengah mengembang itu. Kau pun tersenyum. Tidak, nak. Tidak apa-apa. Lalu bagaimana dengan adik kunang? Adik kunang menangis. Dia kehilangan dua orang yang sangat ia cintai. Dengan sepenuh hati dia mengais sisa abu sang ibu, mengumpulkannya, lalu menyimpannya dalam relung sekuncup melati. Ia pun hidup seorang diri, pergi menelusuri malam, hingga sampai di taman ini.

***

Ini berat. Terlalu berat. Tidak untukku. Namun untukmu.

Kau tertidur. Hangat tubuhku menenangkanmu. Tentu, rahimku telah merekamkan hangat tubuhku untukmu lima tahun yang lalu. Sembilan bulan lebih sembilan hari, tepatnya. Sembilan bulan lebih sembilan hari yang sungguh menenangkan.

Ayahmu di sana. Menemaniku. Mengulum bibirku di saat aku kesepian. Mengusapmu di balik rahimku dari halus tambun pinggulku. Lalu dia pergi. Direnggut anarki.

Aku salah, nak. Aku salah. Tak ada yang bisa menggantikan ayahmu. Orang ini hanyalah pelukis ulung. Pelukis lebam dan pilu.

Kuraba ubunku. Nyeri berdenyut. Serpih porselen menancap di sana.

Kutatap wajahmu. Lelapmu begitu hangat di balik selimut pakaianku. Lalu, tanpa kusadari, aku menangis. Menangis dalam bisu.

Perlahan kuhampiri wajahmu. Lirih, kuberbisik,

izinkan aku menjadi kunang-kunang, untukmu.

***

Di sini, bu? Ya. Di sini. Adik kunang hidup seorang diri, menanti kunang lain datang menemani kelipnya. Hingga suatu ketika dia berjumpa dengan seekor kunang yang hangat, yang kelipnya begitu menawan. Adik kunang begitu bahagia. Mereka pun hidup bersama, membangun keluarga, hingga taman ini dipenuhi oleh ratusan kunang-kunang nan indah. Mereka pun hidup bahagia, selamanya.

***

Lagi, aku bermimpi.

Langit menghitam. Menelan malam. Lalu kami datang. Aku dan kunang-kunang raksasa.

Aku menungganginya. Kuapitkan kedua kakiku di ruas tubuhnya yang gemuk. Sayapnya begitu bising. Tubuhnya begitu hangat. Dan dari semua yang ada padanya, hangatnyalah yang paling kusuka. Hangat kelipnya.

Kami terbang. Merajai malam. Langit begitu bersih, dengan bulan dan bintang-bintang raksasa. Rumah-rumah begitu kecil, jauh di bawah kami.

Kunang-kunang raksasa terbang, semakin tinggi. Membawaku menembus celah-celah bintang. Malam tak lagi menusuk. Hangat kelipnya begitu luar biasa.

Lalu kami pun mendarat. Landasan kami: kawah bulan purnama. Perlahan aku melompat turun dari punggungnya. Kemudian, keajaiban pun terjadi: kunang-kunang raksasa bersinar, begitu terang, seterang-terangnya terang, lebih dari sang rembulan. Terang itu menelannya, ketika perlahan ia menjelma dalam sosok seorang putri nan elok. Aku terpana.

Dia begitu cantik. Sehelai sutra tipis membalut tubuhnya, bertabur permata. Pelan dia melangkah, menghampiriku. Wajah kami begitu dekat, dan dia begitu hangat, ketika dia berbisik,

izinkan aku menjadi kunang-kunangmu.

Kubuka mataku.

Malam mendadak terang, padahal subuh belum menjelang.

Terang ini…

***

Dan kamu pun kembali terdiam. Heningmu begitu panjang. Perlahan matamu menggenang, begitu lembut, ketika kepal tanganmu bergetar menahan isakmu. Kubenamkan diriku dalam pelukanmu.

Jangan menangis, ibu.

***

Ibu menyala, dengan separuh badan berkobar, ketika jeritku menganga,

IBUU!!!!

Sleman, 25 Agustus 2012

Andreas Rahardjo Adi Baskoro