Caraka

Hana caraka, data sawala

Padha jayanya, maga bathanga

***

Engkau percaya dengan berbagai berita yang kau santap setiap hari? Bual-bual indah nan sistematis, kata demi kata membentuk frasa, frasa demi frasa saling berangkulan membentuk badan bernama kalimat yang saling bertumpuk dan melilit, memikul paragraf, memanggul wacana, dalam berita? Sulit rasanya untuk berkata tidak, meskipun aku dipaksa untuk mempercayainya. Namun iya. Aku percaya.

Ayahku seorang wartawan. Mengejar berita, membawa kamera, merekam kisah, dan bergulat setiap hari menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam susunan yang utuh, teratur dan sistematis, membentuknya menjadi berita, menyerahkannya kepada redaksi dan editor, hingga akhirnya berita itu masuk dalam salah satu kolom Harian Rakyat untuk dibaca oleh khalayak umum yang tak berada di lokasi di mana berita itu lahir dengan sendirinya, atau lahir dengan bantuan tangan-tangan bidan wartawan. Pernah suatu ketika aku bertanya, mana yang lebih dulu lahir: wacana, atau berita? Wacana melahirkan berita, ataukah berita yang melahirkan wacana? “Jangan memperdebatkan ayam dan telur. Tidak ada habisnya,” ujar Ayahku. Pada akhirnya aku mengerti, bahwa siapapun yang lahir lebih dahulu, Ayahkulah yang melahirkan mereka. Dia Ayah dari ratusan berita di kolom-kolom Harian Rakyat.

Ayahku penggemar berita. Hidupnya dihabiskan untuk membaca berita-berita di berbagai koran setiap pagi. Tak tanggung-tanggung, Ayahku berlangganan lima koran yang berbeda: Harian Rakyat, Suara Baru, Media Rakyat, Indo Pos, dan Antara. “Langganan koran itu harus lebih dari satu, minimal dua. Penting membaca berita dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Setiap koran punya kaca-mata mereka masing-masing,” ujarnya.

“Tapi ini lebih dari dua, Pak. Bapak langganan lima.”

“Ya, lebih banyak lebih baik.”

Ayah betah membaca berlembar-lembar berita di sana setiap paginya. Koran-koran itu merupakan saran pagi di samping soto masakan Ibu. Malah, Ayah sering kali lupa sarapan hanya untuk membaca berita di koran sepanjang pagi di akhir pekan. Wajahnya selalu tertutup koran setiap pagi, bahkan di meja makan.

“Pak, sotonya.”

“Iya.”

Selak dingin lho, Pak.

“Iya.”

Uwis le, Bapakmu ra doyan soto. Ben sarapan koran wae ben dina.”

Percakapan itu seolah menjadi percakapan rutin kami setiap pagi di akhir pekan. Maklum, Ayah sibuk bekerja dari pagi hingga malam setiap harinya. Hanya di akhir pekanlah Ayah dapat menghabiskan waktunya untuk bersantai dan beristirahat…

…dengan koran.

Tidak bosan apa Ayah dengan berita?

“Warta, pacar pertama Bapakmu itu koran. Yen koran ki wedok, bapakmu mesti wis rabi karo koran.” Begitulah sambat Ibu setiap hari. Padahal Ibu juga wartawan, sama seperti Ayah. Mereka bertemu di Poso ketika Ayah meliput kerusuhan yang terjadi di sana. Dua jurnalis dari dua koran yang berbeda, jatuh cinta di tengah kerusuhan. Mereka pun pulang ke Jawa, dan tanpa basa-basi menikah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Mungkin mereka takut dipisahkan oleh berita.

Begitulah aku lahir di tengah keluarga jurnalis. Ayah dan ibuku sibuk meliput berita setiap harinya, sementara aku alergi dengan berita. Tidak mudah bagiku untuk begitu saja mempercayai semua berita yang ada di berbagai media massa, bahkan liputan ayahku di Harian Rakyat. Butuh waktu yang panjang hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengerti dan memahami, bahwa sesungguhnya semua berita itu menyimpan kebenaran yang patut untuk dibaca.

Hingga kebenaran merubah wajah hidup keluargaku.

 

***

 

Pagi itu tidak ada koran.

Hari itu hari Senin. Ayah tidak berangkat kerja. Dia hanya duduk di depan TV, menonton berita pagi. Dia tidak bergegas mandi, sarapan, memakai kemeja, menyeruput sedikit kopi dan berangkat begitu cepat seolah hendak kehilangan berita yang melulu dikejarnya setiap hari. Ayah terlihat sakit, bukan karena dia sakit. Dia terlihat pucat.

Ibu sudah berangkat kerja. Hari itu sekolah libur.

“Pak.”

“Ya.”

“Bapak tidak berangkat kerja?”

Ayah terdiam. Kedua matanya menatap kosong layar di hadapannya.

“Pak?”

Malino… Helsinki…[1] semua terliput dengan baik. Tak ada masalah. Kenapa.. kenapa sekarang…”

“Kenapa, Pak? Ada apa?”

Ayah masih terdiam. Tak seperti biasanya ayahku terperangkap dalam pikirannya sendiri. Kedua matanya menatap jauh ke depan, seolah melemparkan beban yang jauh dan berat di satu titik di mana tatapannya jatuh tepat di depan layar. Dia memejamkan matanya, menarik nafas yang berat dan panjang, hingga dia mengangkat tatapannya kepadaku.

“Bapak dipecat, Ta.”

“Dipecat?”

“Iya. Semalam Bapak ditelepon oleh atasan. Bapak dipecat.”

Ada momen kosong yang tidak menyenangkan.

“…kenapa? Kenapa dipecat? Bapak sudah puluhan tahun menjadi wartawan. Bapak wartawan senior Harian Rakyat.”

“Sudah, le. Bapak dipecat.”

“Tapi kenapa, Pak? Kenapa Bapak dipecat?”

Lagi, Ayah menjatuhkan tatapannya yang berat ke depan layar televisi. Liputan Pagi menyiarkan berita hasil pemilu Presiden beberapa hari yang lalu. Animo masyarakat begitu tinggi menyongsong kepemimpinan Presiden yang baru. Namun Ayahku tidak.

“Liputan Bapak ditolak oleh redaksi.”

“Liputan? Liputan apa?”

“Korupsi, Nak.”

Kata itu terdengar lugas dari mulut Ayah. Untuk pertama kalinya mata Ayah kembali menyala.

“Ada Korupsi di keluarga presiden kita.”

“Korupsi?”

“Ya. Korupsi. Trilyunan uang disalah-gunakan dari anggaran negara untuk pemilu tahun ini. Bapak punya sahabat dekat, intel pemerintah. Begitu mendapat kabar itu, Bapak langsung menyeledikinya. Bapak mendapat beberapa bukti penting penyalah-gunaan anggaran itu.”

“Tapi kenapa redaksi menolak liputan Bapak? Bukannya selama ini liputan Bapak selalu diterima?”

“Tidak kali ini, Nak. Harian Rakyat aktif dalam kampanye presiden kita tahun ini. Teman-teman Bapak semua dapat jatah. Pencitraan dibangun oleh jurnalis-jurnalis palsu, dan sayangnya, mereka semua teman-teman Bapak sendiri. Semua berita itu palsu.”

Lagi, mata Ayah kembali meredup. Siaran pemilu presiden pagi itu tidak lebih dari sekedar sampah di matanya. Rasa jijik dan enggan menguar di kedua matanya. Ayah mematikan televisi, lalu merenung seorang diri.

Namun itu tidak bertahan lama. Pelan tapi pasti, mata Ayah menyala kembali.

“Bapak tidak mau seperti mereka. Mereka semua wartawan palsu. Bekerja tanpa mendengarkan hati nurani. Kita, manusia, dikaruniai Allah hati dan budi. Kita berpikir dengan kepala kita, dan saat itulah budi kita bekerja. Kita merasa dengan hati kita, dan saat itulah hati nurani kita berkata. Hati nurani itu pintu suara-Nya. Tak semestinya kita melawan kehendak Allah dalam hati kita.”

“Tapi Pak, itu hidup Bapak. Bapak wartawan. Bapak tidak bisa tidak meliput berita.”

“Warta, kamu tahu kisah Hana Caraka?”

“Ada di sekolah, diajarkan di pelajaran Bahasa Jawa.”

“Ada seorang raja bernama Ajisaka. Dia memimpin rakyatnya dengan arif dan bijaksana. Sebagai seorang raja, dia memiliki sebuah keris pusaka. Keris ini sakti mandraguna, tak seorang pun boleh memilikinya kecuali dirinya. Hingga suatu ketika dia merasa, dia harus menyimpan kerisnya di suatu tempat yang jauh, aman dan terjaga. Ajisaka pun memanggil seorang abdi kepercayaannya. Dia bernama Sembada.

‘Sembada.’

Sendika Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’

‘Sembada, aku memiliki sebuah keris pusaka yang sangat sakti. Kesaktiannya begitu kuat, sangat kuat, dan aku merasa khawatir apabila kesaktiannya yang tak terbendung itu mengundang tangan-tangan jahat untuk datang ke negeri ini dan merebutnya dari tanganku. Oleh karena itu pergilah, Sembada. Bawa keris ini bersamamu. Simpanlah di sebuah gua yang gelap dan tersembunyi, di mana tak seekor ulat pun hidup menggemburkan tanahnya. Jangan biarkan seorang pun datang mengambil keris ini dari tanganmu, kecuali tanganku sendiri.’

‘Baik, baginda. Sahaya mengerti.’

‘Berjanjilah Sembada, untuk menjaga keris ini dengan segenap hidupmu, dan segenap jiwamu.’

‘Sahaya bersumpah untuk menjaga keris pusaka Baginda Raja Ajisaka dengan segenap jiwa dan raga sahaya, hingga sahaya menghembuskan nafas pamungkasaning gesang sahaya, hingga Baginda datang untuk mengambil keris pusaka Baginda Raja Ajisaka.’

Maka pergilah Sembada, jauh ke gua di mana tak seorang pun datang memasukinya bahkan untuk melihatnya saja sekalipun, sebab gua itu begitu gelap, segelap-gelapnya gelap, lebih dari gelap. Keris situ disimpannya dalam selembar kain putih bertuliskan mantra dan doa sang Baginda untuk meredam kesaktian sang Keris Pusaka. Keris itu kemudian disimpan di belakang pinggang kirinya, dalam bebat kain cokelat bermotif parang rusak membalut pinggangnya. Di sana Sembada duduk bersila, diam dalam tapa dan samadi.

Waktu terus berlalu. Tahun demi tahun datang dan pergi, seiring dengan memutihnya helai-helai rambut raja Ajisaka. Segenap negeri dan rakyatnya hidup aman dan sejahtera, hingga suatu ketika baginda raja teringat akan satu hal: keris pusaka. Ketenangan dan kedamaian pun terusik dalam benaknya, tercemar oleh bayang-bayang buruk akan sang keris pusaka. Bagaimanakah keris itu sekarang? Bagaimana kabar Sembada? Masih hidupkah ia? Bagaimana jika keris itu berhasil direbut oleh tangan-tangan jahat untuk mengusik kedamaian negeri ini? Tenggelam dalam kekalutannya, Ajisaka memanggil seorang utusan kepercayaannya. Utusan itu bernama Dora.

‘Dora.’

Sendika Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’

‘Bertahun-tahun sudah aku memimpin negeri ini. Rakyat hidup tenang dan damai dalam kesejahteraaan yang tak terperi. Tak satu pun penjahat berani mengusik kedamaian negeri kita, dengan kesaktianku yang mengatasi langit dan bumi.

‘Namun Dora, betapa resah hatiku mengingat satu pusaka yang telah lama kusimpan nun jauh di sana. Pusaka itu adalah keris yang sangat sakti mandraguna, kesaktiannya melebihi pusaka manapun yang ada di muka bumi ini. Aku menitipkannya pada Sembada, abdi kepercayaanku bertahun-tahun yang lalu, untuk dijaga dan di simpan di sebuah gua nan gelap nun jauh di sana, yang tak terjamahkan sinar Matari, supaya tak seorang pun datang untuk mengambilnya. Aku percaya, Sembada menjaga keris pusaka itu dengan segenap jiwa dan raganya, mengingat dia merupakan abdiku yang paling setia. Namun kini, resah dan gelisah menggantung di dalam batinku. Aku khawatir keris itu telah direbut oleh tangan-tangan jahat nan sakti dari tangan Sembada.’

‘Pergilah, Dora. Datanglah kepada Sembada. Kabarkanlah padanya bahwa aku, baginda Raja Ajisaka, mengutusmu untuk mengambil keris itu dari padanya. Ajaklah dia untuk turut serta pulang bersamamu. Sudah tiba saatnya Sembada mengakhiri tugasnya dan pulang kembali ke tanah kelahirannya.’

Sendika dhawuh, Sinuhun.’

Maka pergilah Dora ke tempat di mana Sembada berada, diam dalam tapa dan semadi di dalam gelap gua terpencil nun jauh di sana. Tak butuh waktu lama bagi Dora untuk menemukannya, segelap apapun gua itu. Dora menyelinap masuk ke dalam gua, tanpa suara, menjumpai Sembada dalam tapa semadinya di jantung gua yang begitu dalam. Sembada membuka matanya.

“Dora bertemu dengan Sembada, menyampaikan pesan raja Ajisaka untuk mengambil keris pusaka, tapi Sembada menolak dan berkata, ‘Hanya baginda Raja Ajisaka yang boleh mengambil keris ini dari tanganku,’ lalu mereka bertarung sampai mati. Begitu kan, Pak?”

“Persis. Kesaktian Dora dan Sembada setara hingga tak satupun dari mereka memenangkan pertarungan itu. Keduanya mati dalam tugas mereka sebagai utusan.”

Kali ini aku terdiam, mencerna kisah yang diceritakan oleh Ayahku. Apa hubungannya semua itu dengan pekerjaan Ayah?

Melihat kerut wajahku, Ayah tersenyum.

“Dora dan Sembada menjalankan tugas mereka dengan penuh pengabdian. Mereka menyampaikan pesan sang Raja dengan jujur, apa adanya, dan dengan setia menjalankannya hingga akhir hayatnya. Mereka Caraka yang baik, utusan yang jujur dan bermartabat. Begitulah semestinya seorang wartawan. Lebih baik Papa dipecat daripada hidup sebagai wartawan palsu.”

Papa tersenyum hangat. Dia tidak lagi terlihat sakit. Dia bangkit, memakai jaketnya, dan pergi membeli beberapa koran untuk dibaca. Satu minggu sesudah itu, Ayah melamar kerja di Indo Pos. Dia diterima di sana, mengangkat berita korupsi yang ditemukannya, dan berita itu diterima oleh redaksi. Berita itu dengan cepat tersebar ke berbagai media, lebih dari berita apapun. Namun pemerintah menyangkal berita tersebut, dan berbagai media berbalik melawan ayahku. Meski begitu, Ayah terus berjuang. Merangkai jalinan kata, demi kebenaran.

Dan kebenaran pun mengubah hidup Ayahku.

***

Pagi itu tak ada Ayah.

Rumah kami begitu ramai dikerumuni warga. Ayahku tergeletak di teras. Koran-koran basah menutupi sekujur tubuhnya. Merah dan basah.

Ibu menangis, melolong dan meringis. Menangisi dia yang mendengarkan hati nurani. Memperjuangkan kebenaran. Melawan caraka-caraka palsu.

 

Untuk wartawan Udin,

dan mereka yang memperjuangkan kebenaran dalam kejujuran,

hingga titik darah penghabisan.

[1] Perjanjian perdamaian konflik Maluku dan Aceh.

Padamu, Malam tak Pernah Berbohong

Malam tak pernah berbohong.

                                                                                                                                                       Padanya manusia menelanjangi diri

Lelaki mengeluarkan tanduknya,

Wanita membuka liangnya,

Pengayom menjilat taringnya,

dan pejabat mengelus ekornya

                                                                                                                                                    Anjing-anjing kau sembelih,

Kau bumbui hingga gurih

Tak ada lagi haram dan nista

Semua hanya nafsu semata

                                                                                                                                                            Saat itulah orang-orang Blaka berkumpul

Mengelilingimu dan tungku yang mengepul

Lelaki wanita pengayom pejabat

Semua melidah di atas sampah

                                                                                                                                                                 Asu panas mengepul di piring

Blakanis berpesta di gubuk sepi

Temaram teplokmu selimuti malam

Bertemankan ciu, berpesta pora

                                                                                                                                                           Waktu berlalu, datang dan pergi

Membawa manusia ke tepi hari

Semua tetiba sibuk mengoyak gombal

Menyibak sisa asu di pipi dan muka

Lelaki menyimpan tanduknya,

Wanita menutup liangnya,

Pengayom menarik taringnya,

Pejabat menggulung ekornya

                                                                                                                                                    Blakanis berlalu, datang dan pergi

Merekapun pergi,

Meninggalkanmu sendiri di sini

Di gubuk sepimu kaucuri malam,

Habiskan hari (sepi) mu,

dengannya seorang

Padamu, Malam tak pernah berbohong.

Perempuan dan Naga

Perempuan dan Naga,

bertemu di tempat ini

berbagi kisah, tawa dan perih

“Aku penyuka daun.”

“Aku penyuka api.”

“Aku menyukai daun yang hijau di musim semi,

memberi nafas hidup bagi mereka yang dicintai.”

“Aku menyukai api yang menyala,

menghidupkan dan membakar semangat orang-orang mati.”

“Daun tidak hidup untuk dirinya sendiri

dia bersemi, menghijau, mengering dan mati

demi pohon tempatnya bernaung,

dan orang-orang yang berteduh sepi.”

“Api menghabisi dirinya sendiri,

terbakar habis demi orang-orang yang meredup, dingin,

dan mencari hangatnya api.”

dragon_by_chevsy-d54ampy

“Tapi daun terbakar oleh api,

hangus  dalam baranya yang panas menyala.”

“Tapi daun pun hidup dari api,

hijaunya lahir dari terang api mentari.”

“Api menyesap buah hidup daun,

Melahap oksigen yang semestinya dihirup

oleh manusia-manusia dini hari.”

“Daun memberi api tujuan hidup,

terangnya membuat daun semakin hijau

dan nyalanya pun menjadi berarti.”

“Api membunuh daun.”

“Daun memberi api sebuah arti.”

“Api… menghidupkan daun.”

“Daun menghidupkan api.”

Leaf_Girl_by_Flip_Wood

“Jadi daun dan api saling membutuhkan?”

“Ya, dengan alasan hidup itu sendiri.”

“Tapi api tak boleh memeluk daun,

atau daun akan terbakar habis oleh sang api.”

“Dan daun tak boleh merangkul api,

atau api akan melahapnya, dan nyalanya pun tak lagi berarti.”

“Harus ada jarak antara daun dan api

supaya daun dapat hidup,

dari hangat terang sang api.”

“Dan harus ada jarak antara api dan daun

supaya api dapat menerangi daun,

dan terang nyalanya pun menjadi berarti.”

“….”

“….”

Perempuan dan Naga

berpisah di tempat ini

mengambil sebuah jarak,

demi hidup yang lebih berarti.

Jenazah

 

Kata orang, itu bukan jenazah. Itu hanya seonggok daging cincang yang terjatuh dari mobil pengangkut daging sapi, terlindas sedan, truk, tronton, dan puluhan makhluk beroda lainnya. Daging itu pun semakin tak berbentuk, terdukung kodratnya sebagai seonggok daging cincang. Dan bukankah daging cincang memang tak berbentuk?

Tapi Mariyem berkata tidak. Ada yang berbeda dari seonggok daging itu. Ada nyawa yang baru saja lepas darinya. Nyawa yang terjalin dalam hubungan batin dengannya. Nyawa yang lahir dari rahimnya.

Mariyem menangis. Melolong dan meringis. Meratapi seonggok daging berdarah di tepi jalan. Orang-orang berlalu-lalang, pergi kesana-kemari.

Mariyem tetap sendiri.

***

“Pisau.”

“Baik, dok.”

“Gunting.”

“Ini, dok.”

“Tang.”

“He?”

Asisten residen terdiam. Tang?

“Tidak ada tang, dok.”

“Ya cari.”

“Tapi..”

“Cari!”

Asisten residen bergegas dari ruang otopsi, pergi menuju bilik ­out sourcing dan bertanya, “Ada tang?” Spontan sejumlah petugas kaget melihatnya.

“Maaf dok, tidak ada tang di sini.”

Asisten residen kembali bergegas. Melaju ke lift, turun dua lantai menuju basement. Menemui petugas satpam, tukang parkir, bahkan cleaning service. Nihil. Tak ada tang di sana. Dia pun pergi, kembali ke ruang otopsi. Kuyu wajahnya mengkerut melihat sang dokter menusuknya dengan tatapan tajam menghakimi.

“Mana tangnya?”

“Tidak ada, dok. Tidak ketemu.”

“Ke mana saja kamu?”

“Keliling rumah sakit, dok. Nihil.”

Si dokter terdiam. Si asisten pun membisu. Si dokter masih sibuk menusuknya dengan tikam-tikam tatapan yang dingin. Lalu perlahan si dokter mengalihkan pandangannya pada gumpalan daging berdarah itu. Matanya menghangat. Dia menghela nafas panjang.

“Aneh.”

“Kenapa, dok?”

“Ada paku di sana.”

“Di mana?”

“Di mana lagi? Ya di daging itu.”

Residen terdiam. Ditatatapnya gumpalan daging itu, daging yang datang sore tadi menjelang maghrib. Seorang perempuan paruh baya datang membawanya dengan tangan bersimbah darah, tertatih-tatih seorang diri menuju UGD. “Tolong! Tolong anak saya!” ujarnya. Seorang perawat datang menghampirinya, bertanya apa yang bisa dia bantu. Perempuan itu memintanya untuk merawat gumpalan daging yang dibawanya sore itu sembari berkata, “Tolong, suster. Dia anakku.”

“Tapi itu daging, bu. Daging cincang.”

“Dia anakku! Rawatlah dia. Dia butuh pertolonganmu. Tolong…”

Melihat keseriusan ibu itu, sang perawat menarik brankar besi di dekatnya, membungkus kedua tangannya dengan pelapis steril, lalu mengambil gumpalan daging itu dan membawanya di atas brankar. Dia sebenarnya tidak yakin akan apa yang sedang dilakukannya. Merawat daging cincang? Yang benar saja? Namun entah mengapa sorot mata perempuan itu menyentuhnya. Menggerakkan hatinya untuk segera mengambil alih segumpal daging cincang seberat tujuh kilogram dari peluk sang ibu.

“Sebentar ya, bu. Kami bawa anak ibu ke ruang otopsi.”

“Otopsi?”

“Tenang, bu. Kami tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh. Hanya membersihkannya, lalu mendandaninya. Seperti sedia kala.”

Perempuan itu membisu. Melangkah sayu ke bangku pasien ditemani seorang perawat lain yang diberi pesan, “Temani dia. Sebentar lagi petugas RSJ datang menjemputnya.” Perawat wanita itu mendorong brankar dengan perlahan, mengamati gumpalan daging cincang nan basah berlumur darah di atas brankar. Aneh, batinnya. Sepertinya daging itu berdenyut. Ah, masa bodoh. Bawa ke ruang otopsi, serahkan residen, selesai.

Daging itu pun tiba di ruang otopsi. Residen jaga datang menghampiri perawat itu.

“Ini, terserah mau diapakan.”

“Ini apa?”

“Daging.”

“Ya, saya juga tahu ini daging. Daging apa?”

“Entahlah. Tugasmu mencari tahu.”

Maka begitulah. Singkat kata, daging itu mendekam di pendingin jenazah, menanti selama berjam-jam antrian (cukup banyak jenazah yang harus diotopsi sore itu; korban pembunuhan, mutilasi, kecelakaan, dsb. Musim jenazah, rupanya), sampai tak ada lagi jenazah yang mengantri otopsi kecuali segumpal daging seberat tujuh kilogram itu. Awalnya si dokter pun enggan menjamahnya, lelah mengotopsi sepuluh jenazah dalam satu malam. Namun ada yang lain dari daging itu, suatu hal yang menariknya untuk menarik daging itu dari lemari pendingin, menghangatkannya, membasuhnya, lalu memeriksanya, inci demi inci. Entah apa yang menariknya, seolah daging itu berbisik padanya, “Jamah aku. Jamahlah.”

“Ada tiga paku di sana. Menancap kuat, tepat di dalam.”

“Di dalam? Bagaimana bisa?”

“Entahlah. Mungkin dia mati tertusuk paku.”

“Jadi ini positif…”

“Positif apa?”

“…daging, manusia?”

“Mungkin.”

“Bagaimana dokter tahu?”

“Firasatku berkata demikian. Puluhan tahun aku menjamah daging-daging manusia tak bernyawa. Daging kita berbeda dengan daging sapi potong. Kau akan bisa merasakannya kelak setelah puluhan tahun menjadi seorang petugas otopsi.”

“Apa bedanya, dok? Toh semua daging-daging itu berwarna merah kehitaman.”

“Sembarangan! Tentu saja tidak. Ada yang khas dari daging kita, bahkan setelah kita mati.”

Residen itu terdiam. Hening semakin panjang membungkus malam, dan dia semakin bingung dengan apa yang dokter itu katakan. Si dokter, sementara itu, masih menatap gumpalan daging itu dengan mata menerawang jauh ke depan. Lirih, dia berkata,

“Ada roh yang lepas darinya. Itu bedanya.”

***

Jadi, si dokter dan asistennya asyik menghabiskan waktu bersama sekerat daging cincang tak berbentuk selama berjam-jam, hanya untuk berbincang soal daging, manusia, dan roh. Residen itu memang tertarik dengan ilmu otopsi, namun malam itu dia lebih tertarik dengan dongeng si dokter tentang asal-usul roh dan daging manusia. Sembari membersihkan daging itu dengan perlahan, si dokter menceritakan padanya kisah turun-temurun yang diperolehnya dari nenek-moyangnya.

“Kamu tahu kisah Adam dan Hawa?”

“Tahu.”

“Nah, mereka berdua awalnya sama dengan makhluk-mahluk yang lain. Dibentuk dari tanah dan debu. Yah, diberi air sedikitlah, supaya liat dan mudah dibentuk. Rupanya Tuhan suka bermain lempung.

“Suatu ketika, Tuhan bosan dengan ciptaan-Nya. Tak satu pun ciptaan itu bisa diajak ngobrol. Mereka bodoh, hanya bisa makan, tidur, kawin dan beranak. Hingga suatu ketika muncullah di benak-Nya sebuah gagasan: bagaimana kalau Aku menciptakan saja citra diri-Ku? Maka Tuhan pun mengambil segumpal lempung, bercermin, lalu membentuknya persis seperti diri-Nya sendiri. Nah, ini yang penting: Dia menghembuskan nafas-Nya pada replika diri-Nya itu. Nafas itulah yang membuat segumpal lempung itu hidup, namun tak hanya hidup. Dia hidup dengan akal dan hati. Itulah roh, nafas Tuhan yang mengalir dalam nadi manusia.”

“Jadi, maksudmu nafas Tuhan baru saja lepas dari daging itu?”

“Ya, kurasa begitu.”

Si dokter masih berasyik-masyuk dengan daging itu. Sang asisten, sementara itu, hanya mengamatinya mengutak-atik daging itu dari berbagai sisi. Dia mengernyit.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Tahu apa?”

“Kalau nafas Tuhan baru saja lepas darinya?”

Si dokter menghentikan pekerjaannya. Keasyikannya terputus. Dia meletakkan  peralatannya, membasuh tangannya, menarik dua kursi, duduk, lalu berkata, “Duduklah. Mari berbincang.”

“Tidakkah kamu mengerti? Aku sudah memberitahumu tadi. Daging kita berbeda dengan daging sapi potong. Kamu akan mengerti…”

“…kelak setelah puluhan tahun menjadi seorang petugas otopsi. Ya, aku tahu. Tapi bagaimana kamu tahu? Bagaimana kamu bisa tahu kalau ada sesosok roh yang baru saja lepas dari segumpal daging itu? Apakah roh itu seperti jin, halus, tembus pandang, dan menguap dari daging itu layaknya asap? Apa yang kamu lakukan hingga kamu bisa mengetahuinya?”

“Nak, kamu masih muda. Masih terlalu dini bagimu untuk mengetahui semua itu.”

“Apa salahnya? Apa semua itu berhubungan dengan ilmu hitam? Guna-guna? Mata batin?”

“Dengar Nak. Daging itu…”

Si dokter menghela nafas panjang. Matanya menghangat. Residen itu masih muda, seusia anaknya. Anaknya yang mati terlindas truk, ngeyel diberitahu untuk tidak seenaknya memacu deru kuda besinya. Dia sendiri yang mengotopsi mayat anaknya. Wajahnya menyerpih, tak tersisa. Kamu seperti anakku, batinnya. Susah dikasih-tahu.

“Daging itu berdenyut.”

“Apa?”

“Berdenyut.”

“Jangan bercanda.”

“Kamu hanya melihatnya, namun tidak merasakannya. Rasakan, tajamkan matamu. Lihat sendiri kalau tidak percaya.”

Residen itu berdiri. Menghampiri gumpalan daging yang kini sudah bersih, jauh lebih bersih. Mengamatinya inci demi inci. Aneh memang. Tiga paku menancap tepat di tiga sisi, membentuk tiga sudut segitiga. Dan tepat di tengahnya, ada sesuatu yang membuatnya terhenyak. Daging itu berdenyut, tepat di tengah. Begitu pelan.

“Ini bohong, kan?”

“Kamu boleh tidak percaya, tapi itu kenyataannya.”

“Tapi ini daging orang mati!”

“Daging orang mati tidak sepenuhnya mati. Kita benar-benar mati ketika otak kita berhenti bekerja. Jaringan-jaringan yang ada masih bekerja, begitu pelan, hingga darah kita mengental dan menggumpal. Daging ini, anehnya, tidak demikian. Tak ada gumpalan darah di sana. Darahnya encer layaknya manusia yang masih hidup. Mengalir dari tiga tempat di mana paku-paku itu tertancap.”

Residen itu terhenyak. Dia merinding. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin.

“Jadi benar, nafas Tuhan baru saja lepas darinya?”

“Sebenarnya tidak. Aku mulai ragu sekarang. Harusnya denyut itu sudah hilang berjam-jam yang lalu, beberapa waktu setelah seseorang meninggal. Tapi daging itu tetap berdenyut. Sepertinya daging itu hidup.”

Residen membisu. Melangkah perlahan ke kursi dengan setumpuk pertanyaan di benaknya. Daging. Roh. Nafas Tuhan. Manusia. Adam dan Hawa. Dia masih belum mengerti, bahkan mungkin sudah tidak berminat untuk mengerti. Membiarkan dirinya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang tak terjawab dalam benaknya.

“Sudahlah, Nak. Tidak usah dipikirkan. Aku sudah berkata padamu, kamu masih terlalu muda. Cukuplah kita mengotopsi daging ini. Kita taruh dia di ruang jenazah.”

“Buat apa kita menaruh segumpal daging cincang di ruang jenazah? Nanti kita disangka orang bodoh, dok.”

“Daging ini datang dari seorang perempuan yang mengaku dirinya sang ibu dari daging ini. Sudah jadi etika kita untuk menghormati keluarga pasien.”

Si dokter menghentikan percakapannya. Dia membersihkan darah yang mengalir darinya, menaruhnya di sebuah kotak steril, lalu membawanya ke ruang jenazah. Si residen menemaninya dalam diam.

Malam telah berganti pagi.

***

Waktu berlalu. Tiga hari sudah daging itu mendekam di ruang jenazah. Perempuan yang dulu datang bersamanya memaksa untuk datang menjenguknya. “Aku Mariyem, dan aku ibunya!” desaknya. Merasa iba, petugas RSJ pun mengizinkannya. Dia pergi ke rumah sakit itu bersama tiga orang penjaga yang diberi pesan, “Antar dia subuh-subuh, biar tidak mengganggu pasien yang lain.”

Fajar menyingsing. Ruang jenazah begitu sepi. Jenazah-jenazah lain telah dibawa oleh keluarganya masing-masing di hari yang lalu. Mariyem bergegas, menarik langkahnya menuju ruang di mana anaknya berada.

“Di mana dia? Di mana?”

“Di sana, bu. Dalam kotak di sudut ruangan.”

Mariyem berlari. Para petugas pergi mengiringi. Sesampainya mereka di ruangan itu, mereka dikejutkan oleh sebuah pemandangan.

Kotak itu kosong. Daging itu tak ada di sana. Jejak darah membekas di lantai, jejak setapak yang terbentuk tepat di muka kotak, begitu lurus, sampai berhenti di muka tembok tepat di hadapannya. Di sana tergantung sebuah kayu salib.

Darah menetes darinya.

“Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu.”

(Luk. 22:19)

Sleman, 7 Januari 2013

Andreas Rahardjo Adi Baskoro

Rahim (sebuah puisi)

Kehidupan menyimpan benih rahimnya,

dalam tetes-tetes air

yang mengembun di rerumputan,

mengalir di lekuk sungai,

dan menguap di udara

 

Rahim yang melahirkan hidup itu sendiri,

dalam rupa-rupa sepi di pagi hari

kabut,

awan,

dan embun.

 

Kini rahim itu merintih

menelan ludah-ludah hidup mamalia,

yang mengaku diri berhati-nurani.

Tegakah engkau meludahi ibumu sendiri?

 

Dan kini rahim itu memucat

dalam rupa nanah kehitaman

lirih, dia berbisik,

Cintai aku yang mengalir dalam nadimu.

 

 

Sleman, 21 Januari 2013

Andreas Rahardjo Adi Baskoro

Do not stand at my grave and weep (Frye’s poem)

Do not stand at my grave and weep
I am not there. I do not sleep.
I am a thousand winds that blow.
I am the diamond glints on snow.
I am the sunlight on ripened grain.
I am the gentle autumn rain.
When you awaken in the morning’s hush
I am the swift uplifting rush
Of quiet birds in circled flight.
I am the soft stars that shine at night.
Do not stand at my grave and cry;
I am not there. I did not die.

 

Mary Elizabeth Frye

Taman Kunang-Kunang

Ibu. Mengapa ibu menangis? Tidak nak. Ibu tidak menangis. Ibu bohong. Ibu pasti menangis. Tidakkah kau tahu? Kita sedang kehujanan. Tidak. Kamu mengisak. Kausamarkan tangismu dalam untaian tangis sang hujan. Air mata itu berbeda dari tetes air hujan yang mengalir di pipimu. Putik tetesannya bergulir pelan dari ujung pelupuk matamu. Butir-butir itu menangis, lirih. Aku mendengar isaknya.

Hujan, bu. Iya, nak. Dingin, bu. Bersabarlah, nak. Kenapa kita tidak masuk saja? Perapian menunggu kita. Kamu diam. Hanya diam. Memar melebam di mata kananmu. Aku benci dia yang melukisnya. Dia yang mengusir kita, bu. Dia yang mengusir kita.

Sudah malam, bu. Kenapa kita di luar? Kamu tidak menjawab. Hanya mengisak. Kaudekap aku dalam peluk isakmu. Aku meluruh.

Dingin semakin menjadi. Gelap semakin memekat.

Tidak, Kenanga. Tidak. Ibu tidak menangis.

Tidak malam ini.

***

Hihi. Itu apa, bu? Kunang-kunang. Kunang-kunang? Ya, kunang-kunang. Banyak sekali! Tentu. Ini kan taman. Taman? Iya, taman. Taman kunang-kunang.

Kenapa mereka begitu banyak, bu? Karena mereka hidup bersama. Bersama? Ya. Apa mereka hidup berkeluarga? Ya. Mereka semua? Ya. Kalau begitu, mereka berkerabat? Tentu. Berarti, eh, berarti, ada anak kunang-kunang? Ada. Paman kunang-kunang? Ada. Kakek kunang-kunang? Ada. Ibu kunang-kunang? Tentu ada. Kalau ayah kunang-kunang? Ehm… ya. Ada.

***

Hujan mereda. Gerimis merenda. Sementara kita berteduh di bawah naungan pohon sawo, pintu itu tak kunjung terbuka. Tidak bagi kita.

Malam begitu beku. Kita meringkuk. Kamu menggigil. Menggigil dalam pelukku.

Memarku berdenyut. Keningku mengilu.

Maafkan aku, anakku.

Malam ini tak ada susu untukmu.

***

Kenanga. Ya, bu? Pernahkah ibu menceritakanmu sebuah dongeng tentang kunang-kunang? Belum. Ada sebuah keluarga kunang-kunang. Mereka hidup bertiga, ayah kunang, ibu kunang, dan adik kunang. Bersama mereka menerangi malam dengan kelip mereka yang tidak seberapa, namun cantik adanya.

Sayang, nasib malang menimpa mereka. Pada suatu malam, ayah kunang tertangkap jerat sang laba. Ibu kunang dan adik kunang ingin menolongnya, namun apa daya, sang laba terlampau gagah bagi mereka. Sang laba membebat tubuh ayah kunang, dan perlahan dia mengisapnya, begitu pelan. Kelip ayah kunang pun meredup, hingga ajal menjemputnya.

***

Malam ini, aku bermimpi.

Mimpi yang aneh. Ayah pergi bersama kita, bersama-sama ke taman kunang-kunang. Kita bermalam di sana, berteduhkan sehelai tenda. Tak ada api unggun. Hanya kita, dan kunang-kunang.

Malam itu kita tertawa bersama. Lalu, saat aku tertidur, kalian bercumbu. Membelit layaknya ular saling melilit. Begitu mesra. Sampai seekor anjing datang melesak.

Aku takut. Kalian tergagap. Anjing hutan itu begitu besar, lebih dari singa. Kemudian, dengan begitu singkat, anjing itu mengoyak kepala Ayah. Mengunyahnya.

Engkau menangis. Meringkuk dan meringis. Lalu anjing itu menghampirimu. Berliur darah Ayah, dia menggagahimu. Tanpa ampun. Dan engkau menangis. Menangis dalam lelahmu.

Jerit bisu menganga dari mulutku.

Aku terbangun.

Terbangun dalam pelukmu.

Malam tak kunjung tidur.

***

Ibu dan adik kunang hidup terlunta-lunta. Tiada lagi kelip hangat sang ayah. Hingga suatu ketika, ibu kunang menjumpai sesosok kunang yang begitu menawan. Tubuhnya menyala begitu terang, lebih dari segenap kunang yang pernah dia jumpai. Ibu kunang jatuh cinta. Adik kunang pun rindu akan hangat seorang ayah. Maka ibu kunang pun mendekatinya.

Namun sayang, ibu kunang salah memilih. Kunang yang dicintainya bukanlah kunang yang sesungguhnya. Dia hanyalah sepuntung rokok yang nyalanya tak kunjung padam. Nyalanya begitu panas, sangat panas. Dia tersiksa, namun cinta mengalahkan perih lepuhnya. Aku ingin memelukmu, ucapnya. Ia pun mati, hangus dalam pelukan sang kunang palsu.

Kemudian kamu terdiam. Diam dalam heningmu. Entah mengapa kauhentikan dongengmu. Sebutir air pun menguncup di sudut kerlingmu.

***

Dingin, bu. Iya, nak. Ayo masuk, bu. Kau pun diam.

Ayo ke taman, bu. Taman? Taman Kunang-Kunang. Terlalu larut, nak. Di sini dingin, bu. Dan lagi, kau terdiam.

Aku menggigil. Dingin ini menusukku. Mengulitiku. Kubenamkan diriku dalam pelukmu. Menelusur belah dadamu. Mencari seusap hangat di celah itu.

Kutatap matamu dari balik dadamu. Ada yang membengkak di sana. Sudut matamu memerah. Pekat.

Lalu, perlahan kaulepaskan pelukmu. Engkau berdiri, melucuti dirimu sendiri. Sweater. Syal. Piyama. Hingga tak sehelai benang pun melekat di tubuhmu. Pelan, kau menyelimutiku dengan pakaianmu. Dan engkau pun memelukku, lagi.

***

Ada apa, bu? Kau terkesiap. Kausapu kuncup air yang tengah mengembang itu. Kau pun tersenyum. Tidak, nak. Tidak apa-apa. Lalu bagaimana dengan adik kunang? Adik kunang menangis. Dia kehilangan dua orang yang sangat ia cintai. Dengan sepenuh hati dia mengais sisa abu sang ibu, mengumpulkannya, lalu menyimpannya dalam relung sekuncup melati. Ia pun hidup seorang diri, pergi menelusuri malam, hingga sampai di taman ini.

***

Ini berat. Terlalu berat. Tidak untukku. Namun untukmu.

Kau tertidur. Hangat tubuhku menenangkanmu. Tentu, rahimku telah merekamkan hangat tubuhku untukmu lima tahun yang lalu. Sembilan bulan lebih sembilan hari, tepatnya. Sembilan bulan lebih sembilan hari yang sungguh menenangkan.

Ayahmu di sana. Menemaniku. Mengulum bibirku di saat aku kesepian. Mengusapmu di balik rahimku dari halus tambun pinggulku. Lalu dia pergi. Direnggut anarki.

Aku salah, nak. Aku salah. Tak ada yang bisa menggantikan ayahmu. Orang ini hanyalah pelukis ulung. Pelukis lebam dan pilu.

Kuraba ubunku. Nyeri berdenyut. Serpih porselen menancap di sana.

Kutatap wajahmu. Lelapmu begitu hangat di balik selimut pakaianku. Lalu, tanpa kusadari, aku menangis. Menangis dalam bisu.

Perlahan kuhampiri wajahmu. Lirih, kuberbisik,

izinkan aku menjadi kunang-kunang, untukmu.

***

Di sini, bu? Ya. Di sini. Adik kunang hidup seorang diri, menanti kunang lain datang menemani kelipnya. Hingga suatu ketika dia berjumpa dengan seekor kunang yang hangat, yang kelipnya begitu menawan. Adik kunang begitu bahagia. Mereka pun hidup bersama, membangun keluarga, hingga taman ini dipenuhi oleh ratusan kunang-kunang nan indah. Mereka pun hidup bahagia, selamanya.

***

Lagi, aku bermimpi.

Langit menghitam. Menelan malam. Lalu kami datang. Aku dan kunang-kunang raksasa.

Aku menungganginya. Kuapitkan kedua kakiku di ruas tubuhnya yang gemuk. Sayapnya begitu bising. Tubuhnya begitu hangat. Dan dari semua yang ada padanya, hangatnyalah yang paling kusuka. Hangat kelipnya.

Kami terbang. Merajai malam. Langit begitu bersih, dengan bulan dan bintang-bintang raksasa. Rumah-rumah begitu kecil, jauh di bawah kami.

Kunang-kunang raksasa terbang, semakin tinggi. Membawaku menembus celah-celah bintang. Malam tak lagi menusuk. Hangat kelipnya begitu luar biasa.

Lalu kami pun mendarat. Landasan kami: kawah bulan purnama. Perlahan aku melompat turun dari punggungnya. Kemudian, keajaiban pun terjadi: kunang-kunang raksasa bersinar, begitu terang, seterang-terangnya terang, lebih dari sang rembulan. Terang itu menelannya, ketika perlahan ia menjelma dalam sosok seorang putri nan elok. Aku terpana.

Dia begitu cantik. Sehelai sutra tipis membalut tubuhnya, bertabur permata. Pelan dia melangkah, menghampiriku. Wajah kami begitu dekat, dan dia begitu hangat, ketika dia berbisik,

izinkan aku menjadi kunang-kunangmu.

Kubuka mataku.

Malam mendadak terang, padahal subuh belum menjelang.

Terang ini…

***

Dan kamu pun kembali terdiam. Heningmu begitu panjang. Perlahan matamu menggenang, begitu lembut, ketika kepal tanganmu bergetar menahan isakmu. Kubenamkan diriku dalam pelukanmu.

Jangan menangis, ibu.

***

Ibu menyala, dengan separuh badan berkobar, ketika jeritku menganga,

IBUU!!!!

Sleman, 25 Agustus 2012

Andreas Rahardjo Adi Baskoro

Tanda Tanya (sebuah puisi)

 

Apa yang kau pikir ada di balik sebab?

Sebuah tanda Tanya bersembunyi di dalamnya

Dan ketika kita mencari tahu jawabannya,

Kabut pun muncul sesudahnya

 

Sejengkal nasi telah menjadi bubur,

Melebur dalam pelupuk kasih

Tak ada yang tahu

Siapa meleburkan siapa

Nasi kepada air,

Atau air kepada bubur

Yang ada hanyalah ia yang bersembunyi di balik sebab,

Sebuah tanda Tanya

 

Lalu semua ikut merona,

kamu, dan aku

 

 

Senin, 29 Oktober 2012

Di Senthong yang sepi,

Andreas Rahardjo Adi Baskoro