Long Time No Write

Saya masih ingat betul. Dalam sebuah posting yang pernah saya unggah di blog saya, saya menuliskan sebuah statement: melewatkan makna dalam peristiwa adalah sebuah dosa besar. Ekstrim, memang. Kita melihat dosa sebagai sebuah perbuatan yang melukai kepentingan, hati dan perasaan orang lain, serta menjauhkan diri kita dari Yang Maha Kuasa. Lantas apa yang menjadikan lewatnya makna dalam peristiwa sebagai sebuah dosa yang, tanpa mencoba untuk melebih-lebihkan, besar?

Lama sekali saya tidak menulis. Kali ini pun, ketika saya menulis tulisan ini (lebih tepatnya, mengetik), saya memilih untuk meletakkan jari-jari saya di laptop daripada menulis di buku harian saya. Padahal sudah dari kemarin saya meletakkan buku harian saya di atas meja. Setiap malam, mulai pukul 10, saya mengambil buku harian saya; sebuah binder tebal berwarna oranye yang telah menemani saya selama lebih dari dua tahun (dan selama itu pula tidak saya jamah), mengambil pulpen dan meletakkannya berdampingan dengan laptop, hingga akhirnya saya mengurunkan niat saya dan memilih untuk membuka akun twitter dan facebook. Sejumlah pengalaman penting saya lewati beberapa hari terakhir, dan hati nurani saya berbisik berulang kali untuk menuliskannya dalam bentuk refleksi, persis seperti apa yang saya lakukan dua tahun yang lalu setiap malam selama empat tahun berturut turut di buku refleksi. Sayang, saya tidak melakukannya. Pengalaman demi pengalaman daya lewatkan, bersamaan dengan makna yang ada di dalamnya.

Di sinilah dosa itu muncul. Saya melewatkan makna di balik setiap peristiwa. Saya menjumpai makna-makna tersebut di akhir setiap pengalaman yang saya alami, namun saya tidak merekamnya dalam tulisan. Saya mengunyahnya begitu saja tanpa sempat memotretnya terlebih dahulu, dan secara tidak langsung, hal ini melukai diri saya sendiri. Saya melukai hati nurani saya. Hidup, yang notabene merupakan guru yang paling bijaksana, memberikan begitu banyak pelajaran berharga melalui berbagai peristiwa yang saya alami, dan saya melewatkannya begitu saja, tanpa jejak. Apalah artinya saya merasa bahagia dengan apa yang saya dapatkan di akhir setiap pengalaman itu, sepahit apapun pengalaman itu, jika saya melupakannya begitu saja di akhir pengalaman itu? Begitu banyak penulis ternama memulai karyanya dari dirinya sendiri, dari berbagai pengalaman yang mereka alami setiap saat, setiap waktu. Mereka membingkai makna dari setiap peristiwa yang mereka alami, entah dalam bentuk fiksi ataupun refleksi, lalu membagikannya kepada para pembaca. Andrea Hirata, Pandji Pragiwaksono… ah, bahkan saya pun tidak sungguh-sungguh mengingat siapa saja penulis yang menulis berdasarkan pengalaman hidup mereka sendiri. Siapapun mereka, mereka menulis dari apa yang mereka alami, mencerna pengalaman mereka, lalu membagikan makna yang mereka jumpai kepada para pembaca. Intinya: berbagi hidup lewat kisah.

Dan bukankah seharusnya saya bisa melakukan hal yang sama?

Saya tidak mau membiarkan hal ini terus-menerus. Manusia menjadi manusia karena kemampuannya untuk berpikir dan mencerna apa yang dia alami, tidak hanya dengan akal dan rasio, melainkan hati nurani. Makna dalam peristiwa merupakan harta yang sangat berharga yang tidak dapat kita peroleh dari manapun selain dari hidup itu sendiri, dan kita hanya dapat membedahnya dengan akal budi dan hati nurani kita, melalui refleksi.  Sudah sewajibnya saya membingkai setiap pengalaman saya dan membagikannya kepada orang lain. Siapa tahu pengalaman itu menolong hidup mereka menjadi lebih baik.

Don’t let your experiences go away from you.

 

Sleman, 13 Juli 2014

Andreas Rahardjo Adi Baskoro

Caraka

Hana caraka, data sawala

Padha jayanya, maga bathanga

***

Engkau percaya dengan berbagai berita yang kau santap setiap hari? Bual-bual indah nan sistematis, kata demi kata membentuk frasa, frasa demi frasa saling berangkulan membentuk badan bernama kalimat yang saling bertumpuk dan melilit, memikul paragraf, memanggul wacana, dalam berita? Sulit rasanya untuk berkata tidak, meskipun aku dipaksa untuk mempercayainya. Namun iya. Aku percaya.

Ayahku seorang wartawan. Mengejar berita, membawa kamera, merekam kisah, dan bergulat setiap hari menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam susunan yang utuh, teratur dan sistematis, membentuknya menjadi berita, menyerahkannya kepada redaksi dan editor, hingga akhirnya berita itu masuk dalam salah satu kolom Harian Rakyat untuk dibaca oleh khalayak umum yang tak berada di lokasi di mana berita itu lahir dengan sendirinya, atau lahir dengan bantuan tangan-tangan bidan wartawan. Pernah suatu ketika aku bertanya, mana yang lebih dulu lahir: wacana, atau berita? Wacana melahirkan berita, ataukah berita yang melahirkan wacana? “Jangan memperdebatkan ayam dan telur. Tidak ada habisnya,” ujar Ayahku. Pada akhirnya aku mengerti, bahwa siapapun yang lahir lebih dahulu, Ayahkulah yang melahirkan mereka. Dia Ayah dari ratusan berita di kolom-kolom Harian Rakyat.

Ayahku penggemar berita. Hidupnya dihabiskan untuk membaca berita-berita di berbagai koran setiap pagi. Tak tanggung-tanggung, Ayahku berlangganan lima koran yang berbeda: Harian Rakyat, Suara Baru, Media Rakyat, Indo Pos, dan Antara. “Langganan koran itu harus lebih dari satu, minimal dua. Penting membaca berita dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Setiap koran punya kaca-mata mereka masing-masing,” ujarnya.

“Tapi ini lebih dari dua, Pak. Bapak langganan lima.”

“Ya, lebih banyak lebih baik.”

Ayah betah membaca berlembar-lembar berita di sana setiap paginya. Koran-koran itu merupakan saran pagi di samping soto masakan Ibu. Malah, Ayah sering kali lupa sarapan hanya untuk membaca berita di koran sepanjang pagi di akhir pekan. Wajahnya selalu tertutup koran setiap pagi, bahkan di meja makan.

“Pak, sotonya.”

“Iya.”

Selak dingin lho, Pak.

“Iya.”

Uwis le, Bapakmu ra doyan soto. Ben sarapan koran wae ben dina.”

Percakapan itu seolah menjadi percakapan rutin kami setiap pagi di akhir pekan. Maklum, Ayah sibuk bekerja dari pagi hingga malam setiap harinya. Hanya di akhir pekanlah Ayah dapat menghabiskan waktunya untuk bersantai dan beristirahat…

…dengan koran.

Tidak bosan apa Ayah dengan berita?

“Warta, pacar pertama Bapakmu itu koran. Yen koran ki wedok, bapakmu mesti wis rabi karo koran.” Begitulah sambat Ibu setiap hari. Padahal Ibu juga wartawan, sama seperti Ayah. Mereka bertemu di Poso ketika Ayah meliput kerusuhan yang terjadi di sana. Dua jurnalis dari dua koran yang berbeda, jatuh cinta di tengah kerusuhan. Mereka pun pulang ke Jawa, dan tanpa basa-basi menikah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Mungkin mereka takut dipisahkan oleh berita.

Begitulah aku lahir di tengah keluarga jurnalis. Ayah dan ibuku sibuk meliput berita setiap harinya, sementara aku alergi dengan berita. Tidak mudah bagiku untuk begitu saja mempercayai semua berita yang ada di berbagai media massa, bahkan liputan ayahku di Harian Rakyat. Butuh waktu yang panjang hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengerti dan memahami, bahwa sesungguhnya semua berita itu menyimpan kebenaran yang patut untuk dibaca.

Hingga kebenaran merubah wajah hidup keluargaku.

 

***

 

Pagi itu tidak ada koran.

Hari itu hari Senin. Ayah tidak berangkat kerja. Dia hanya duduk di depan TV, menonton berita pagi. Dia tidak bergegas mandi, sarapan, memakai kemeja, menyeruput sedikit kopi dan berangkat begitu cepat seolah hendak kehilangan berita yang melulu dikejarnya setiap hari. Ayah terlihat sakit, bukan karena dia sakit. Dia terlihat pucat.

Ibu sudah berangkat kerja. Hari itu sekolah libur.

“Pak.”

“Ya.”

“Bapak tidak berangkat kerja?”

Ayah terdiam. Kedua matanya menatap kosong layar di hadapannya.

“Pak?”

Malino… Helsinki…[1] semua terliput dengan baik. Tak ada masalah. Kenapa.. kenapa sekarang…”

“Kenapa, Pak? Ada apa?”

Ayah masih terdiam. Tak seperti biasanya ayahku terperangkap dalam pikirannya sendiri. Kedua matanya menatap jauh ke depan, seolah melemparkan beban yang jauh dan berat di satu titik di mana tatapannya jatuh tepat di depan layar. Dia memejamkan matanya, menarik nafas yang berat dan panjang, hingga dia mengangkat tatapannya kepadaku.

“Bapak dipecat, Ta.”

“Dipecat?”

“Iya. Semalam Bapak ditelepon oleh atasan. Bapak dipecat.”

Ada momen kosong yang tidak menyenangkan.

“…kenapa? Kenapa dipecat? Bapak sudah puluhan tahun menjadi wartawan. Bapak wartawan senior Harian Rakyat.”

“Sudah, le. Bapak dipecat.”

“Tapi kenapa, Pak? Kenapa Bapak dipecat?”

Lagi, Ayah menjatuhkan tatapannya yang berat ke depan layar televisi. Liputan Pagi menyiarkan berita hasil pemilu Presiden beberapa hari yang lalu. Animo masyarakat begitu tinggi menyongsong kepemimpinan Presiden yang baru. Namun Ayahku tidak.

“Liputan Bapak ditolak oleh redaksi.”

“Liputan? Liputan apa?”

“Korupsi, Nak.”

Kata itu terdengar lugas dari mulut Ayah. Untuk pertama kalinya mata Ayah kembali menyala.

“Ada Korupsi di keluarga presiden kita.”

“Korupsi?”

“Ya. Korupsi. Trilyunan uang disalah-gunakan dari anggaran negara untuk pemilu tahun ini. Bapak punya sahabat dekat, intel pemerintah. Begitu mendapat kabar itu, Bapak langsung menyeledikinya. Bapak mendapat beberapa bukti penting penyalah-gunaan anggaran itu.”

“Tapi kenapa redaksi menolak liputan Bapak? Bukannya selama ini liputan Bapak selalu diterima?”

“Tidak kali ini, Nak. Harian Rakyat aktif dalam kampanye presiden kita tahun ini. Teman-teman Bapak semua dapat jatah. Pencitraan dibangun oleh jurnalis-jurnalis palsu, dan sayangnya, mereka semua teman-teman Bapak sendiri. Semua berita itu palsu.”

Lagi, mata Ayah kembali meredup. Siaran pemilu presiden pagi itu tidak lebih dari sekedar sampah di matanya. Rasa jijik dan enggan menguar di kedua matanya. Ayah mematikan televisi, lalu merenung seorang diri.

Namun itu tidak bertahan lama. Pelan tapi pasti, mata Ayah menyala kembali.

“Bapak tidak mau seperti mereka. Mereka semua wartawan palsu. Bekerja tanpa mendengarkan hati nurani. Kita, manusia, dikaruniai Allah hati dan budi. Kita berpikir dengan kepala kita, dan saat itulah budi kita bekerja. Kita merasa dengan hati kita, dan saat itulah hati nurani kita berkata. Hati nurani itu pintu suara-Nya. Tak semestinya kita melawan kehendak Allah dalam hati kita.”

“Tapi Pak, itu hidup Bapak. Bapak wartawan. Bapak tidak bisa tidak meliput berita.”

“Warta, kamu tahu kisah Hana Caraka?”

“Ada di sekolah, diajarkan di pelajaran Bahasa Jawa.”

“Ada seorang raja bernama Ajisaka. Dia memimpin rakyatnya dengan arif dan bijaksana. Sebagai seorang raja, dia memiliki sebuah keris pusaka. Keris ini sakti mandraguna, tak seorang pun boleh memilikinya kecuali dirinya. Hingga suatu ketika dia merasa, dia harus menyimpan kerisnya di suatu tempat yang jauh, aman dan terjaga. Ajisaka pun memanggil seorang abdi kepercayaannya. Dia bernama Sembada.

‘Sembada.’

Sendika Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’

‘Sembada, aku memiliki sebuah keris pusaka yang sangat sakti. Kesaktiannya begitu kuat, sangat kuat, dan aku merasa khawatir apabila kesaktiannya yang tak terbendung itu mengundang tangan-tangan jahat untuk datang ke negeri ini dan merebutnya dari tanganku. Oleh karena itu pergilah, Sembada. Bawa keris ini bersamamu. Simpanlah di sebuah gua yang gelap dan tersembunyi, di mana tak seekor ulat pun hidup menggemburkan tanahnya. Jangan biarkan seorang pun datang mengambil keris ini dari tanganmu, kecuali tanganku sendiri.’

‘Baik, baginda. Sahaya mengerti.’

‘Berjanjilah Sembada, untuk menjaga keris ini dengan segenap hidupmu, dan segenap jiwamu.’

‘Sahaya bersumpah untuk menjaga keris pusaka Baginda Raja Ajisaka dengan segenap jiwa dan raga sahaya, hingga sahaya menghembuskan nafas pamungkasaning gesang sahaya, hingga Baginda datang untuk mengambil keris pusaka Baginda Raja Ajisaka.’

Maka pergilah Sembada, jauh ke gua di mana tak seorang pun datang memasukinya bahkan untuk melihatnya saja sekalipun, sebab gua itu begitu gelap, segelap-gelapnya gelap, lebih dari gelap. Keris situ disimpannya dalam selembar kain putih bertuliskan mantra dan doa sang Baginda untuk meredam kesaktian sang Keris Pusaka. Keris itu kemudian disimpan di belakang pinggang kirinya, dalam bebat kain cokelat bermotif parang rusak membalut pinggangnya. Di sana Sembada duduk bersila, diam dalam tapa dan samadi.

Waktu terus berlalu. Tahun demi tahun datang dan pergi, seiring dengan memutihnya helai-helai rambut raja Ajisaka. Segenap negeri dan rakyatnya hidup aman dan sejahtera, hingga suatu ketika baginda raja teringat akan satu hal: keris pusaka. Ketenangan dan kedamaian pun terusik dalam benaknya, tercemar oleh bayang-bayang buruk akan sang keris pusaka. Bagaimanakah keris itu sekarang? Bagaimana kabar Sembada? Masih hidupkah ia? Bagaimana jika keris itu berhasil direbut oleh tangan-tangan jahat untuk mengusik kedamaian negeri ini? Tenggelam dalam kekalutannya, Ajisaka memanggil seorang utusan kepercayaannya. Utusan itu bernama Dora.

‘Dora.’

Sendika Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’

‘Bertahun-tahun sudah aku memimpin negeri ini. Rakyat hidup tenang dan damai dalam kesejahteraaan yang tak terperi. Tak satu pun penjahat berani mengusik kedamaian negeri kita, dengan kesaktianku yang mengatasi langit dan bumi.

‘Namun Dora, betapa resah hatiku mengingat satu pusaka yang telah lama kusimpan nun jauh di sana. Pusaka itu adalah keris yang sangat sakti mandraguna, kesaktiannya melebihi pusaka manapun yang ada di muka bumi ini. Aku menitipkannya pada Sembada, abdi kepercayaanku bertahun-tahun yang lalu, untuk dijaga dan di simpan di sebuah gua nan gelap nun jauh di sana, yang tak terjamahkan sinar Matari, supaya tak seorang pun datang untuk mengambilnya. Aku percaya, Sembada menjaga keris pusaka itu dengan segenap jiwa dan raganya, mengingat dia merupakan abdiku yang paling setia. Namun kini, resah dan gelisah menggantung di dalam batinku. Aku khawatir keris itu telah direbut oleh tangan-tangan jahat nan sakti dari tangan Sembada.’

‘Pergilah, Dora. Datanglah kepada Sembada. Kabarkanlah padanya bahwa aku, baginda Raja Ajisaka, mengutusmu untuk mengambil keris itu dari padanya. Ajaklah dia untuk turut serta pulang bersamamu. Sudah tiba saatnya Sembada mengakhiri tugasnya dan pulang kembali ke tanah kelahirannya.’

Sendika dhawuh, Sinuhun.’

Maka pergilah Dora ke tempat di mana Sembada berada, diam dalam tapa dan semadi di dalam gelap gua terpencil nun jauh di sana. Tak butuh waktu lama bagi Dora untuk menemukannya, segelap apapun gua itu. Dora menyelinap masuk ke dalam gua, tanpa suara, menjumpai Sembada dalam tapa semadinya di jantung gua yang begitu dalam. Sembada membuka matanya.

“Dora bertemu dengan Sembada, menyampaikan pesan raja Ajisaka untuk mengambil keris pusaka, tapi Sembada menolak dan berkata, ‘Hanya baginda Raja Ajisaka yang boleh mengambil keris ini dari tanganku,’ lalu mereka bertarung sampai mati. Begitu kan, Pak?”

“Persis. Kesaktian Dora dan Sembada setara hingga tak satupun dari mereka memenangkan pertarungan itu. Keduanya mati dalam tugas mereka sebagai utusan.”

Kali ini aku terdiam, mencerna kisah yang diceritakan oleh Ayahku. Apa hubungannya semua itu dengan pekerjaan Ayah?

Melihat kerut wajahku, Ayah tersenyum.

“Dora dan Sembada menjalankan tugas mereka dengan penuh pengabdian. Mereka menyampaikan pesan sang Raja dengan jujur, apa adanya, dan dengan setia menjalankannya hingga akhir hayatnya. Mereka Caraka yang baik, utusan yang jujur dan bermartabat. Begitulah semestinya seorang wartawan. Lebih baik Papa dipecat daripada hidup sebagai wartawan palsu.”

Papa tersenyum hangat. Dia tidak lagi terlihat sakit. Dia bangkit, memakai jaketnya, dan pergi membeli beberapa koran untuk dibaca. Satu minggu sesudah itu, Ayah melamar kerja di Indo Pos. Dia diterima di sana, mengangkat berita korupsi yang ditemukannya, dan berita itu diterima oleh redaksi. Berita itu dengan cepat tersebar ke berbagai media, lebih dari berita apapun. Namun pemerintah menyangkal berita tersebut, dan berbagai media berbalik melawan ayahku. Meski begitu, Ayah terus berjuang. Merangkai jalinan kata, demi kebenaran.

Dan kebenaran pun mengubah hidup Ayahku.

***

Pagi itu tak ada Ayah.

Rumah kami begitu ramai dikerumuni warga. Ayahku tergeletak di teras. Koran-koran basah menutupi sekujur tubuhnya. Merah dan basah.

Ibu menangis, melolong dan meringis. Menangisi dia yang mendengarkan hati nurani. Memperjuangkan kebenaran. Melawan caraka-caraka palsu.

 

Untuk wartawan Udin,

dan mereka yang memperjuangkan kebenaran dalam kejujuran,

hingga titik darah penghabisan.

[1] Perjanjian perdamaian konflik Maluku dan Aceh.

Garuda Emas di Tikungan Terakhir

Angkat topi untuk curahan hati penulis. Tulisan yang berasal dari hati selalu layak untuk dibaca.

Rana Raya

Teman-teman simpatisan online dan anggota Gerindra, apa kabar? Nggak terasa, sekarang sudah 2014, dan pilpres tinggal menghitung hari. Kita nggak saling kenal, memang. Sudah lama sekali saya nggak ikutan teman-teman bersuara di ruang maya kita, walau dulu sempat rajin, di tahun 2009. Waktu itu, belum banyak yang kenal media sosial Twitter, dan jejaring sosial Facebook jadi tempat sebagian dari kita berkenalan. “FbPS”, dulu kita menyebutnya, halaman Facebook Prabowo Subianto. Seru, semangat, dan masih ingat dulu hebohnya waktu akun pertama entah kenapa diblokir. Selama 5 tahun, kampanye Gerindra dan Prabowo berkembang lumayan rapi di media sosial, dan sekarang jadi salah satu partai besar. Tepuk tangan untuk semua.

Selama 5 tahun pula, rasanya pergerakan Gerindra lumayan baik. Selain punya idealisme, selalu memiliki program. Dan walau ada cegukan sana-sini, dan tetap ada juga yang tersangkut korupsi, yah relatif lumayan lah. Wakil yang di DPR tidak diijinkan ikut-ikutan studi banding ke luar negeri, misalnya…

Lihat pos aslinya 794 kata lagi

Harga Doa

Ada satu hari yang kita tunggu-tunggu. Saat di mana permohonan kita dikabulkan, satu per satu. Hari di mana Tuhan mendengarkan doa-doa kita; permohonan, impian, harapan. Namun hari itu tak akan datang begitu saja. Kita harus berjuang, hingga hari itu tiba.

Tuhan selalu menghargai keringat yang menetes dari pori-pori kita. Keringat yang, terkadang, mengalir bersama dengan air mata. Keringat itulah harga dari doa-doa kita. Harga yang sepadan untuk membayar semua doa kita.

Namun tak hanya itu. Tak hanya keringat, Tuhan pun memberi harga lain untuk doa-doa kita: untuk siapa kita berdoa. Tuhan enggan mengabulkan doa yang hanya menyampaikan hasrat pengucapnya sendiri. Doa favorit Tuhan, adalah doa yang kita ucapkan bagi orang-orang yang kita cintai. Doa yang tidak memikirkan diri sendiri. Doa yang memberi harapan bagi mereka yang mengucapkan nama kita, hari demi hari, berulang-ulang kali, jauh di dalam hati. Doa yang memperjuangkan hidup mereka yang telah memperjuangkan hidup kita, tanpa henti.

Ada satu hari yang kita tunggu-tunggu. Saat di mana permohonan kita dikabulkan, satu per satu. Hari di mana Tuhan mendengaran doa-doa kita; permohonan, impian, harapan.

Namun hari itu tak akan datang begitu saja.

Kita harus berjuang, hingga hari itu tiba.

 

1 Mei 2014

Andreas Rahardjo A.B.

GA 229, SOC-CGK

sharing ades

Akhir pekan lalu, saya dan suami bertolak kembali ke Jakarta dari Solo, melalui Bandara Adi Soemarmo. Saat tengah menunggu giliran masuk pesawat di tengah antrian panjang, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara sedikit gaduh di belakang. Spontan menoleh, beberapa orang pun melakukan hal yang sama. Bahkan tak sedikit yang bergegas menghampiri ke arah kerumunan. Sesosok pria dengan wajah sangat familiar berdiri di tengah-tengah orang yang berebut untuk menyapa dan berfoto bersama. Mengenakan celana jeans, kemeja putih bertangan panjang yang digulung, menyandang ransel hitam di pundak, ia terlihat sedikit lelah, namun secara umum terkesan santai, tenang dan ramah. Pria itu menebar senyuman khasnya. Dia orang nomer satu di DKI, Joko Widodo yang tenar dengan sapaan akrab Jokowi. 

Saya ikut berdegup melihat kehadiran beliau, terutama melihat antusiasme orang-orang di ruang tunggu keberangkatan. Seolah semua merasa ingin mendekat dan menyapa. Sangat tergelitik untuk ikut menghampiri beliau, namun saya pun separuh mengingatkan diri sendiri sebenarnya, jangan…

Lihat pos aslinya 470 kata lagi

Yuk Keep Stupid

I am an uncle. I am twenty one, and I’ve already been an uncle of young cutie little niece, Teresia Chatra Sarasvati. My family call her Eyi. She is a very smart girl; she learns everything so fast that she memorizes every single thing and thinks in such logical thinking. My Dad (which is actually her grandpa; gosh, he is now a grandpa) ever asked her some Javanese questions and it became a short funny conversation, just like this.

Eyi           : “Kula nuwun…”

Grandpa   : “Inggih… sinten, nggih?”

Eyi           : “Eyi…”

Grandpa   : “Eyi putrine sinten?”

Eyi           : “Eyi putrine mama Nova…”

Grandpa   : “Daleme pundi?”

Eyi           : “Rejondani…”[1]

We don’t know how she learned Javanese. She just did it. The point is that God gives her a brilliant mind and she learns very fast, more than we used to learn.

My niece also likes watching television. Just like million other children, she likes watching cartoons: Marsha and the Bear, Thomas and his Friends, Upin-Ipin, Little Krisna, and her favourite cartoon ever, Spongebob Squarepants. Unfortunately, she has a kind of weird favour of music in her age: dangdut. I don’t mean to judge it; dangdut is a popular music in Indonesia, and I also respect it. What I worry about is what she usually watches then: Yuk Keep Smile. This popular TV show appears every night with its popular jargon, “Keep smile!!” showing lots of impolite jokes, sarcastic games, and sensual dangdut music. Eyi does enjoy it, especially the dangdut music with lots of sensational dance like Kereta Malam and Oplosan. Guess what? She learned very quickly, memorized the music, the lyrics, and finally, she sang it just like this, “Tutupen botolmu, tutupen oplo’anmu…”

My mind goes wild: twenty years from now, my niece, young and beautiful, wearing such a sexy uniform, singing oplosan in front of public in a dangdut concert. Come on, who wants to have that kind of niece? I won’t. After having such a wild imagination, I asked to myself a short simple question,

“Keep smile? I don’t think so.”

 

Big no, big idealism

 hqdefault (1) Yuk Keep Smile is the most popular variety show nowadays. Created after Ramadan holiday last year, it derived from a very popular show Yuk Kita Sahur in TransTV with its famous dancing icon, Caesar. This show was developed then by adding more entertainment features, such as games, quizzes, talk show, and dangdut music.[2] Hosted by Raffi Ahmad, Olga Syahputra, and also with its fenomenal icon Caesar, YKS became very popular variety show up to now.

Unfortunately, YKS upraising popularity is not well balanced by its quality.YKS shows lots of impolite jokes, racism, sensual dangdut music, and even sarcastic games and behaviour. Moreover, the show began at 07.00 up to 11.30 pm (a very long duration for such un-useful entertainment; fortunately, it has been reduced right after the punishment from Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) was given, which made it 1.5 hour), which is classified as prime time for TV show. It means that lots of people watch it, including young people and even children. These young people learn from what they watch, especially children who learn imitatively from other people. They learn those impolite jokes, racism, sarcastic behaviour, sensual dance, and finally become ‘little Olga’ and ‘little Raffi’. There is a worrying case in Bandar Lampung: an elementary student suddenly opened his zipper while singing, “bukak sithik, jos!” from YKS. It is a very serious problem since the main character building occurs in childhood, and it determines the quality of young people with their character and integrity in the future.

Our people are not stupid. Lots of people started to criticize YKS with all of its sarcastic and vulgar entertainment. Dewi Noor, an activist from Peduli Indonesia, made a petition to KPIto stop YKS.[3] She invited thousand people to sign the petition and support a better educating program for our people. This petition is not made without any theoretical basis; Dewi made the petition based on Indonesian law of broadcasting, which demand TV program to be useful and to educate our people with high qualified information, knowledge, and entertainment. We can see it from the law of broadcasting chapter 36:

(1)Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

(5) Isi siaran dilarang :

a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau

c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.[4]

That chapter obviously show that YKS has truly broken the law of broadcasting. After few months of considerations, KPI finally gave a punishment to YKS. A court was held in KPI with TransCorp commissary Ishadi S.K., TransTV chief director Atiek Nur Wahyuni, TransTV program director Achmad Ferizqo Irwan, and some of their crew. It was stated that YKS has broken the law of broadcasting. Hence, YKS is given a punishment with the reduction of its duration.[5] However, the show goes on, and still it presents those un-educating things which decrease the characters of our people. On the other hand, the petition itself is also failed in stopping that TV show; instead of stopping, it actually raised up YKS rating higher than before. It is such an unfortunate thing after all.

The effort doesn’t stop here. Fahira Idris the leader of Masyarakat TV Sehat Indonesia questioned the work of Lembaga Sensor Film (LSF) related to YKS. Acara-acara hiburan seperti Yuk Keep Smile (YKS) dan Pesbukers harus segera dihentikan penayangannya karena dinilai tidak mendidik serta membuat dampak negatif bagi masyarakat,” she said (2013).[6] Pandji Pragiwaksono, a professional comic[7] in Indonesia, criticise how weird TV industries nowadays. They make programs based on the rating of the shows and the majority of the audience, which actually comes from low class people. These people have low education which makes them prefer such an easy understanding entertainment, or even ‘stupid’ entertainment. Itulah mengapa banyak program TV yang terpaksa di “Dumb it down” atau dibikin “goblok” demi mendapatkan perhatian masyarakat kelas bawah,” said Pandji (2013).[8] It also makes lots of advertisers which aim their advertisements to low class people come to them, which makes lots of money. Those TV industries won’t be bankrupt, and as the result, they ‘dumb their shows down’ and sacrifice people’s education on it. These people – Dewi, Idris, Pandji, and many others – are struggling for the sake of our people, Indonesia, and need our support to make it true.

tryutuiryo80oPandji has an interesting story related to this issue. It’s about his favourite comic, Dave Chappelle, who left America and million dollars just because of one single reason: his passion. This is how Pandji tells the story.

Saya jadi ingat Dave Chappelle, yang setelah punya reputasi hebat sebagai Stand-Up Comedian ditawarin membuat program TV The Dave Chappelle Show.

Setelah 2 season yang super sukses,  thn 2005 Viacom sebagai induk perusahaan Comedy Central menawarkan kontrak season 3 & 4 sebesar $ 55.000.000,- atau sebesar Rp 550 milyar.  Sekadar info, 1 season adalah 13 episode. Untuk acara mingguan maka artinya 2 season itu tayang sepanjang 6 bulan kurang lebih.

Dave Chappelle menolak kontrak tersebut, dan bersama anak istrinya pindah ke Afrika untuk hidup tenang sebelum akhirnya kembali ke Amerika Serikat.

Pertanyaanya kemudian, mengapa Dave meninggalkan uang begitu banyak?

Jawabannya, terselip di panggung ketika dia sedang dalam pertunjukan Stand-Up Comedy di 2004. Salah satu penonton sepanjang malam nge-heckle Dave (heckle atau heckling adalah ketika ada penonton yang sepanjang pertunjukan teriak teriak mencoba menarik perhatian komika yang di atas panggung). Heckler tersebut teriak berulang ulang  ”Im Rick James, Bitch!”. Sebuah kalimat terkenal (catch frame) dari acara The Dave Chappelle Show.

Dave kesal, kemudian pergi meninggalkan panggung. Beberapa menit kemudian dia kembali ke atas panggung dan berkata..

“You know why my show is good? Because the network officials say you’re not smart enough to get what I’m doing, and every day I fight for you. I tell them how smart you are. Turns out, I was wrong. You people are stupid”[9]

 When I read this story, I was touched. Dave’s last sentence is very strong. YKS is truly worse than ever, but in other side I realize that, still, most of our people are not well educated. As long as it remains still, YKS will never go down.

 

Big yes, big consequence

Did YKS 1483338_714251685253190_2047777465_ndo nothing on lots of accusations on them? No, they didn’t. They remain the show as it was in the name of Entertainment (or shall we call, Stupidity?). All of the contents of YKS is stated as ‘a fit show for Indonesian people nowadays’, with showing the high rating as the
evidence. Dodi Haryanto assistant producer of YKS said that the data shows that people like YKS very well. He also said that YKS make people like dangdut music, which is the typical music of Indonesia.[10] The point is that it is for the sake of entertainment only, and that’s all.

YKS audience also agree. Lots of people like this show because it reflects their social, cultural, and economical life. As what I have explained before, YKS is mad
e based on the majority of Indonesian people who comes from low class people. These low educated people tend to like sex, violence, and sarcasm as an entertainment. Some sociologists (including my sociology teacher in Seminary) said that the most accessible entertainment for low class people is sex; it is cheap, fun, and relieving. That’s why YKS is irreplaceable. It is such a suitable entertainment for most of our people in Indonesia.

But hey,

What does suitable really mean? Is ‘fit’ enough as an explanation of ‘suitable’? No, it isn’t. Suitable is more than fit, it is a harmony between the representation of one being with another being. The harmony demands the fulfilling of each others’ essential need, and in this case, our people’s need is actually a proper education, which also has to be represented by TV programs, whatever they are. The opinion that smart TV shows are not suitable and will not be well accepted by our people is actually foolish. It is true that entertainment is entertainment; it must entertain people with its content. But don’t forget that entertainment is made just for an intermezzo in our life. Shall we let an intermezzo ruin out our life, moreover, our future? And what the heck this entertainment is if it makes us people remain stupid!

YKS is actually both irony and dilemma. It is an irony since TV show is supposed to educate people, while it doesn’t. It is a dilemma since it gives us two dilemmatic options: stop YKS and our people (which are mostly low class people who also need entertainment) will lose their entertainment, or let it continue and ruin out our life, as time goes by.

 

Smart = scripted

Okay, enough said. Now what’s the deal? Change the content? No sex, no dangdut, no idiots? It won’t be interesting anymore, considering the majority of our people is actually low class people with their favour. I place myself as the opposition of YKS, but I do admit that YKS is fun. Hypocrite? After all that I said? No, I don’t mean to be. I just try to be honest that I myself do enjoy oplosan dance, but in other side, I realize that the future of our people is much more important, including my young cutie little niece. So what do we have to do?

Make it scripted.

Remember Warkop? This legendary trio (Dono, Kasino, Indro) successfully lifted up Indonesian comedy into a smart comedy. All of their comedies are totally scripted. It contains sex and idiots, but in an acceptable dose of humour (and they always give us some moral values in the end). For example is Kasino’s ngapak style, “Gile lu, ndro!”, “Der is a tikusto ander de tebelto? Astaghfiruloo!!”[11] which is funny, smart, entertaining, and scripted. Why is it smart? Because it lifts up one of our social issue from purwokerto, ngapak style, without underestimating or humiliating it.

627 Another example is stand up comedy, which becomes a trend nowadays. Stand up comedy also becomes one movement who fights against stupid TV shows by giving smart comedy. It is totally scripted with all hypothesis, premises, and results of the combination from both of them in the comedy itself. One smart example comes from Dave Chappelle with his joke about how women dress. He first told about a woman, dressing with a sexy uniform, cried to a band of men who stared at her just like this, “Just like I’m dressing like this, doesn’t mean I’m a whore!” Dave then told about himself, wearing a cop uniform, being asked for a help by a citizen and answered to this citizen, “Just like I’m wearing cop uniform, doesn’t mean I’m a cop!” In the end, Dave told his audience, “Ladies, it’s true, that just because you’re dressing like that doesn’t mean you’re a whore. Bu let me tell you something: you are wearing a whore’s uniform.” See, it is such a smart joke! There is sex, there is idiot, but it makes us think twice to revalue how women should dress in front of the public. This is what I’m talking about: scripting ideas makes a clear context to be brought, that the entertainers who are involved are not able to do whatever they want to do, and say whatever they want to say, in such impolite, sexist, and even sarcastic way. It is not only about jokes, it’s also about anything inside YKS: the game, the talk show, the dance, the music, and so on. Imagine those dangdut singers, singing Garuda Pancasila in such attractive way in front of the public (not with sexist moves, of course). Isn’t that interesting? According to Naratama TV, YKS entertainers are very busy entertainers who have no time to prepare their jokes and entertainment, so that they take such an easy way to be done: combining sex, hate, and sarcasm to be a fast entertaining joke to consume, and that’s the biggest problem in YKS.[12] YKS management should provide a scripted scenario for them, so that they wouldn’t walk out of the track. This is smart entertainment. This is what we need.

It is quite relieving now to get the solution. No need to stop YKS, just make it smart scripted and packaged. We can also see our reflection from YKS, which reflects our low educated people. We should aware to ask to ourselves then, “What can I do for my people, Indonesia?” since we are a part of this country.

My mind flies away to my niece. Knowing her daughter’s obsession with dangdut, my sister downloaded a simple application in her tab: Mari Menyanyi. Eyi likes dangdut, but she likes her tab more than that music. She played the app, listened to the music, quickly memorized it, and finally, she sang just like this,

“Bintang kecil, di langit yang tinggi…”

 Keep smile?

 

Sleman, April 4th 2014

Andreas Rahardjo Adi Baskoro

 

Reference

[1]­Eyi         : “Permisi…”

  Grandpa   : “Iya, siapa ya?”

  Eyi          : “Eyi…”

  Grandpa   : “Eyi anaknya siapa?”

  Eyi          : “Eyi anaknya mama Nova…”

  Grandpa   : “Rumahnya di mana?”

       Eyi         : “Rejondani…”

[2] Ardian, Dicky & Puspasari, Desi. (2014, January).  Booming Joget di Acara TV, ‘YKS’ Tak Cuma Soal Joget. Retrieved April 2nd, 2014, from http://hot.detik.com/read/2014/01/20/152233/2472359/230/yks-tak-cuma-soal-joget

[3]Noor, Dewi. (n.d).  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI): Hentikan program acara Yuk Keep Smile TransTV dan acara serupa yang tidak mendidik. Retrieved April 2nd, 2014, from http://www.change.org/id/petisi/komisi-penyiaran-indonesia-kpi-hentikan-program-acara-yuk-keep-smile-trans-tv-dan-acara-serupa-yang-tidak-mendidik

[4]UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran.pdf

[5]Rafika, Alia (March, 2014). KPI Pusat jatuhkan sanksi untuk program Yuk Keep Smile (YKS) di TransTV. Retrieved April 2nd, 2014, from http://simomot.com/2014/03/13/kpi-pusat-jatuhkan-sanksi-untuk-program-yuk-keep-smile-yks-di-transtv/

[6]Syaiful. (October, 2013). Fahira Idris : Hentikan Segera Acara Yuk Keep Smile dan Pesbukers!Retrieved April 2nd, 2014, from  http://www.suara-islam.com/read/index/8802/Fahira-Idris—Hentikan-Segera-Acara-Yuk-Keep-Smile-dan-Pesbukers-

[7]Stand up comedian

[8]Pragiwaksono, Pandji. (February, 2013).Let’s move it.Retrieved April 2nd, 2014, from   http://pandji.com/lets-move-it/

[9]Pragiwaksono, Pandji. (February, 2013).Let’s move it.Retrieved April 2nd, 2014, from   http://pandji.com/lets-move-it/

[10] Ardian, Dicky & Puspasari, Desi. (2014, January).  Booming Joget di Acara TV, ‘YKS’ Tak Cuma Soal Joget. Retrieved April 2nd, 2014, from http://hot.detik.com/read/2014/01/20/152233/2472359/230/yks-tak-cuma-soal-joget

[11]Didiet. (n.d.).Warkop the Legend, “Gila lu, Ndro!”.Retrieved April 2nd, 2014, from  http://cingciripit.wordpress.com/2008/01/01/warkop-the-legend-gila-lu-ndro/

[12]Naratama. (n.d.).Yuk Keep Smile, antara format dan content.Retrieved April 2nd, 2014, from https://www.facebook.com/NaratamaTVClub

berharap dalam harapan

catherinacat

jika hanya kematian yang bisa memuaskan dahagaku.

aku akan tetap berjalan menahan setiap tusukan jarum dalam tenggorokanku

jika hanya kehidupan bisa mengeringkan tenggorokanku.

aku akan tetap berlari, mencari penawarnya, dan berjuang. 

jika hanya kehidupan adalah satu satunya pelaku dari semua ini,

aku akan menyalahkan kematian yang menawarkan penawar pelepas dahaga

aku berharap

Lihat pos aslinya

Padamu, Malam tak Pernah Berbohong

Malam tak pernah berbohong.

                                                                                                                                                       Padanya manusia menelanjangi diri

Lelaki mengeluarkan tanduknya,

Wanita membuka liangnya,

Pengayom menjilat taringnya,

dan pejabat mengelus ekornya

                                                                                                                                                    Anjing-anjing kau sembelih,

Kau bumbui hingga gurih

Tak ada lagi haram dan nista

Semua hanya nafsu semata

                                                                                                                                                            Saat itulah orang-orang Blaka berkumpul

Mengelilingimu dan tungku yang mengepul

Lelaki wanita pengayom pejabat

Semua melidah di atas sampah

                                                                                                                                                                 Asu panas mengepul di piring

Blakanis berpesta di gubuk sepi

Temaram teplokmu selimuti malam

Bertemankan ciu, berpesta pora

                                                                                                                                                           Waktu berlalu, datang dan pergi

Membawa manusia ke tepi hari

Semua tetiba sibuk mengoyak gombal

Menyibak sisa asu di pipi dan muka

Lelaki menyimpan tanduknya,

Wanita menutup liangnya,

Pengayom menarik taringnya,

Pejabat menggulung ekornya

                                                                                                                                                    Blakanis berlalu, datang dan pergi

Merekapun pergi,

Meninggalkanmu sendiri di sini

Di gubuk sepimu kaucuri malam,

Habiskan hari (sepi) mu,

dengannya seorang

Padamu, Malam tak pernah berbohong.