USD MENGAJAR: Aktualisasi 60 Tahun Perjalanan Memanusiakan Manusia Muda

11171877_840581175996161_1281466148_o
Sanata Dharma. Enam puluh tahun universitas kita genap berusia. Enam puluh tahun Sanata Dharma mendidik ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia. Mari sedikit berhitung: universitas kita menerima kurang lebih dua ribu mahasiswa setiap tahunnya. Anggaplah jumlah itu sebagai nilai rata-rata penerimaan mahasiswa baru dari tahun ke tahun, maka 60 x 2.000 = 120.000 mahasiswa. Kecil? Mungkin. Seratus dua puluh ribu bukanlah angka yang besar bila dibandingkan dengan dua ratus lima puluh juta penduduk Indonesia, namun mari kembali berhitung: bila satu orang lulusan mendidik lima orang saja, dan lima orang itu mendidik lima orang yang lain, maka lebih dari satu juta orang merasakan buah pendidikan Sanata Dharma. Belum lagi lulusan yang berprofesi sebagai guru, dan sebagaimana kita ketahui, FKIP merupakan fakultas terbesar di universitas kita. Maka tak salah jika kita menyatakan bahwa enam puluh tahun Sanata Dharma mendidik Indonesia. Sebuah pengabdian yang luar biasa bagi negeri kita yang tercinta.

Saya telah mengajak Anda sekalian untuk berhitung bersama-sama, mengkalkulasi kemungkinan besarnya peran universitas kita di tengah kompleksnya problematika dunia pendidikan di Indonesia; distribusi pendidikan yang tidak merata, siswa didik yang menjadi korban eksperimentasi kurikulum, pendidikan yang (masih) berorientasi pada mencetak tenaga kerja buruh (buruh, yang saya angkat dalam arti luas sebagai pegawai dalam bidang apapun dan bukan majikan; guru pun tergolong sebagai buruh pendidikan) dan bukan pencipta kerja, pembunuhan daya imajinasi siswa dalam konformitas sistem pendidikan yang ada, dsb. Hitungan di atas memang masuk akal ketika kita mengumpamakan bahwa seluruh mahasiswa lulusan Sanata Dharma adalah seorang pendidik. Namun benarkah demikian? Apakah identitas dan jati diri pendidik sungguh-sungguh melekat pada diri pribadi setiap mahasiswa di bidang apapun yang mereka ampu? Sudahkah Sanata Dharma, sebuah universitas dengan nilai 3C (Competence, Conscience, Compassion) dan motto Cerdas dan Humanis yang sangat dibanggakan oleh civitas akademika yang ada di dalamnya, sungguh-sungguh menanamkan identitas dan jati diri pendidik dalam diri setiap mahasiswanya?

 

Pendidikan: sebuah identitas

Driyarkara, pendiri universitas kita, menyatakan: pendidikan adalah sebuah proses yang menjawab problem eksistensialisme. Pendidikan menjadikan manusia sebagai seorang manusia yang utuh, menjadikan manusia itu sendiri menjadi seorang manusia; sebuah proses yang oleh Driyarkara disebut sebagai proses hominisasi. Hal ini merupakan sebuah proses di mana seorang manusia memanusiakan manusia lain yang ada di sekitarnya. Seekor kerbau mengkerbau dengan sendirinya, namun manusia tidak bisa memanusia dengan sendirinya. Dia butuh manusia lain untuk memanusiakan dirinya; sebuah proses yang disebut sebagai proses humanisasi. Semua itu terjadi dengan tujuan memanusiakan manusia secara utuh, memberikan manusia daya yang membuat dirinya menjadi manusia: akal budi, hati nurani, kehendak bebas, serta ilmu pengetahuan, dan menjadikan dirinya berguna bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan pula manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya.

Pendidikan melekat erat dalam identitas Sanata Dharma sebagai sebuah universitas. Sejarah mencatat Sanata Dharma menyandang status Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) pada awal berdirinya di tahun 1955 hingga tahun 1958, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) pada tahun 1958 hingga tahun 1965, Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) pada tahun 1965 hingga tahun 1993, hingga akhirnya menyandang status Universitas pada tahun 1993 hingga saat ini. Saat itu mulai muncul berbagai fakultas dan program studi yang baru di Sanata Dharma, mulai dari fakultas Psikologi hingga fakultas Sains dan Teknologi. Meski demikian, identitas pendidik tak akan pernah lepas dari Sanata Dharma, terlebih dengan pendidikan yang berorientasikan pada visi ‘memanusiakan manusia muda’. Competence, conscience dan compassion pun menjadi tiga nilai dasar pendidikan di Sanata Dharma sebagai universitas Jesuit. Mahasiswa dididik dalam mengasah kompetensi, menyadari segala daya dan kemampuan yang ada padanya, dan mengaktualisasikannya dalam aksi yang nyata bagi sesama. Akan tetapi, sudahkah pendidikan di universitas kita sungguh sampai pada nilai compassion? Sudahkah mahasiswa dididik untuk mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki dalam aksi yang nyata di tengah masyarakat? Ataukah pendidikan di universitas ini berhenti pada nilai conscience saja, bahkan lebih memprihatinkan lagi, competence yang lumpuh dan bisu?

 

USD Mengajar11180424_840580029329609_172445738_o

Saya terinspirasi oleh seorang tokoh pendidikan dewasa ini: Anies Baswedan. Beliau sungguh merupakan sosok seorang pendidik yang membumi. Beliau tak hanya berhenti pada ruang diskusi publik macam seminar pendidikan yang mengusung tema keprihatinan dan problematika pendidikan di Indonesia; lebih dari itu, beliau menggagas dan menginisiasi sebuah gerakan yang secara nyata menjawab berbagai keprihatinan dan problematika tersebut: Indonesia Mengajar. Gerakan ini berangkat dari keprihatinan Anies akan ketidak-merataan pendidikan di Indonesia, di mana tidak semua orang mengenyam pendidikan yang layak. Dimulai pada tahun 2009, gerakan ini mendapat atensi yang sangat tinggi dari publik. Ribuan orang rela mendaftar untuk menjadi bagian dari Pengajar Muda demi memenuhi janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Kini Pengajar Muda telah sampai pada angkatan X dan tersebar di berbagai pelosok tempat di Indonesia, berjuang memenuhi janji kemerdekaan tersebut.

USD Mengajar terinspirasi dari gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan ini berawal dari keinginan untuk mengembalikan kesadaran akan identitas dan jati diri mahasiswa Sanata Dharma sebagai seorang pendidik serta pentingnya karya nyata di tengah masyarakat sebagai aktualisasi nilai compassion sebagai puncak dari nilai 3C. Gerakan ini tidak terbatas pada pendidikan formal akademik, melainkan pula pendidikan non formal dan non akademik: mahasiswa Sastra Inggris mengajar ibu-ibu PKK, mahasiswa Teknik Mesin boleh mengajar cara membuat kincir angin, mahasiswa Psikologi boleh mengajar anak-anak berkebutuhan khusus, dsb. Gerakan ini melampaui batas pendidikan dalam lingkup formal-akademik, serta mengangkat pendidikan sebagai bagian dari proses kemanusiaan itu sendiri; sebuah proses memanusiakan manusia.

Sejumlah orang mengkritik gerakan ini sebagai sebuah gerakan yang kecil dan tidak berdampak; USD Mengajar tersebar di delapan belas titik di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan dilakukan hanya dalam jangka waktu empat puluh hari. Gerakan ini pun dinilai membebek dan tidak orisinil. Meski demikian, sekecil apapun dampak yang muncul daripadanya, gerakan ini telah membantu mahasiswa Sanata Dharma yang terlibat di dalamnya dalam menghidupi nilai-nilai humanisme serta identitas dan jati diri pendidik yang melekat erat pada identitas Sanata Dharma. Mereka telah berkarya nyata di tengah masyarakat dalam proses memanusiakan manusia muda, suatu karya yang sungguh luar biasa dan sangat erat dengan janji kemerdekaan bangsa ini: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kepada segenap panitia dan volunteer USD Mengajar: Anda luar biasa. Anda sangat beruntung menjadi angkatan pertama USD Mengajar. Semoga USD Mengajar menjadi sebuah program berkelanjutan di universitas kita, berlanjut pada USD Mengajar angkatan II, angkatan III, angkatan IV, dan seterusnya, serta meluas ke berbagai pelosok, tak hanya di Yogyakarta, melainkan di seluruh Indonesia.

100% Cerdas, 100% Humanis.

 

 

 

Sleman, 26 April 2015

Andreas Rahardjo Adi Baskoro

Presiden BEM Universitas Sanata Dharma

Kabinet USD Menyala

PPRM

PPRM

Kemarin sore saya potong rambut. Beberapa jam sebelum perayaan ekaristi malam Paskah, saya menyempatkan diri untuk pergi ke tukang potong rambut langganan tak jauh dari rumah. Saya pamit pada Bapak, minta izin untuk potong rambut dengan maksud untuk merapikan diri. Dua puluh ribu di tangan, motorpun saya pacu.

Saya mampir ke tukang potong rambut langganan saya dan Bapak. Tepat dugaan saya, tutup. Sama seperti kami, dia pun Katolik, umat paroki Somohitan. Dengan rasa kecewa saya pun meneruskan perjalanan saya ke tukang cukur Madura, tidak jauh dari situ.

Dua orang tengah mengantri. Saya duduk di luar menghadap ke jalan sembari menunggu antrian. Lima menit berselang, salah seorang lelaki yang mengantri di dalam ke luar dan pergi. Saya pun masuk dan duduk menggantikannya. Lumayan, batin saya. Sembari menunggu antrian saya mengamati dua orang tukang cukur yang sedang bekerja: seorang pemuda paruh baya dan seorang lelaki remaja. Saya hapal dengan pemuda paruh baya yang bekerja di sana, jadi saya berencana untuk duduk di kursinya; sayang, niat saya diambil lebih dulu oleh bapak-bapak yang mengantri di sebelah saya. Rupanya kami memiliki pikiran yang sama: rasa yakin pada si pemuda paruh baya dan rasa ragu pada si lelaki remaja. Baru mau berdiri, bapak-bapak di sebelah saya sudah mengambil ancang-ancang. Apa boleh buat, saya duduk di kursi tukang cukur yang lebih muda. Saya menenangkan diri sembari membaca tulisan di atas cermin: PPRM, Paguyuban Potong Rambut Madura. Setidaknya anak ini anggota PPRM, batin saya.

“Mau cukur gimana, bro?” tanyanya.

“Dirapikan saja. Pendek, rapi.”

“Tipis, bro? Sedang?”

Duhdek! Rapikan saja, tidak usah neko-neko. Tukang potong rambut langganan saya dan Bapak tidak banyak tanya; sekali perintah, langsung eksekusi. Potongannya pun apik dan sesuai dengan garis wajah. Anak ini, sudah banyak tanya, pakai bra-bro segala.

“Pendek. Rapi.”

Dia pun mengangguk. Segera diambilnya mesin pemotong rambut, dinyalakannya, lalu tanpa tedeng aling-aling rambut saya dipapras, kanan dan kiri. Tipis. Saya hanya terdiam sembari mengikuti gerak tangannya, hingga tangannya menyambar telinga kanan saya.

“Duh, sori bro..”

Untung tangan, bukan gunting.

“Gapapa, santai aja..”

Saya hanya menjawabnya sembari tersenyum kecil. Terkadang dia berhenti dan bertanya apakah potongannya terlalu panjang, terlalu pendek, disasak apa tidak, atau kalau masih ada yang kurang. Saya member komentar sekenanya, sambil menunggu hasil akhir. Akhirnya pekerjaannya pun selesai dengan hasil yang cukup memuaskan.

Saya pun tersenyum. Dua puluh ribu saya berikan.

“Sudah berapa tahun jadi tukang cukur?” tanya saya.

“Sudah lama, mas..,” jawabnya sembari tersenyum. Diberikannya kembalian dua belas ribu, dan saya pun pergi setelah sejenak merapikan kembali rambut saya yang baru saja selesai dipermak. Saya pun pulang dengan rambut yang baru, ala PPRM.

***

Saya suka potong rapi. Beberapa waktu belakangan saya memutuskan untuk memilih satu model rambut tetap: rapi dengan belahan di pinggir. Simpel, rapi dan elegan. Dulu semasa SMP dan SMA (bahkan SD) saya selalu pusing memikirkan model rambut. Saya bahkan anti potong rambut, apalagi tukang cukur Madura. Mau dibawa ke mana rambut saya di tangan mereka? Namun lambat laun saya pun menyadari, bukan waktunya lagi bagi saya untuk memusingkan model rambut. Umur saya semakin bertambah, dan seiring dengan berjalannya waktu saya merasa terlalu tua dengan model rambut masa kini: harajuku, old school, shaggy, dsb. Saya bahkan merasa asing dengan barang-barang sebangsa pomade, sneakers, kemeja flannel, dsb. Butuh waktu belasan tahun bagi saya untuk sepenuhnya mempasrahkan rambut saya ke tangan tukang cukur Madura, tanpa pusing memikirkan komentar dari teman-teman saya setelahnya.

Belasan tahun. Bayangkan, untuk bisa mempasrahkan seporsi kecil bagian tubuh saya kepada orang lain saja butuh waktu belasan tahun. Apalagi Gusti Pangeran. Tak terhitung waktu ditempuh Sampeyan Dalem untuk sepenuhnya merelakan tubuh sang Putra untuk disalibkan oleh tangan orang-orang berdosa. Bayangkan seberapa besar rasa takut dan ragu yang dihadapi oleh Beliau. Namun Gusti Pangeran memilih untuk merelakan tak hanya tubuh-Nya, melainkan pula nyawa-Nya, untuk orang-orang yang Dia cintai. Kita semua.

Hasilnya? Penebusan dosa kita yang Dia cintai.

Saya belajar betapa pentingnya nilai sumarah. Pasrah sumarah, tak hanya setengah-setengah. Pasrah yang nrima, tanpa banyak tanya. Dan hal ini persis merupakan hal tersulit dalam hidup manusia: nrima. Entah mengapa kita terlahir dengan insting dasar penolakan; kita cenderung resisten dengan hal-hal yang ada di sekitar kita, apapun itu. Bahkan ekspresi terkejut ketika menerima kado ulang tahun – hal sesederhana itu – pun termasuk dalam bentuk resistensi dasar kita terhadap kenyataan.  Kita selalu bergulat untuk menerima kenyataan, padahal itulah kunci dasar kebahagiaan: nrima. Sama seperti Gusti Pangeran yang rela nrima margining urip (jalan hidup) yang ada pada-Nya.

Sejenak saya berkaca pada cermin sebelum berangkat ke kapel. Hasil potongan anak itu tidak terlalu rapi. Saya merapikannya dengan sisir dan jell sembari berpikir, toh rambut saya akan kembali lagi seperti biasa dan pulih kembali seperti sedia kala. Gusti Pangeran saja bangkit, apalagi rambut saya.

 

 

Sleman, 5 April 2015

Andreas Rahardjo Adi Baskoro